Dalam suku moni atau migani makawin dibayar oleh pihak lelaki. Lelaki disini berperan sebagai kepala keluarga. Di dailam adat dan kebiasaan masyarakat suku moni, pihak yang berhak untuk membayar maskawin adalah pihak laki-lakai. Sedangkan pihak yang berhak menuntut dan menerima maskawin tersebut adalah pihak perempuan. Saat membayar maskawin pu ada ketentuan-ketentuan tertentu yang dituntut oleh pihak perempuan.
Cara membayar maskawinnya biasanya disesuaikan dengan pembayaran maskawin ibu dari perempuan. Jadi cara pembayaran maskawin terhadap perempuan tidak melalui penetapan khusus yang menjadi patokan yang didasarkan pada penentuan bersama yang disepakati bersama dalam suku moni. Jadi intinya bahwa bayar maskwin sesuai dengan pembayaran maskawin ibu dari perempuan itu. Dan cara ini biasanya turun temurun.
Nah, bila maskawin perempuan itu tidak dibayar sampai si perempuan itu punya anak lagi berarti anak pertama bila perempuan, yang berhak untuk bicara soal perempuan itu bukan lagi dari pihak lelakinya tetapi yang berhak bicara soal perempuan itu adalah pihak dari saudara-saudara perempuan (om-omnya). Dengan alas an bahwa pihak perempuan belum membayar maskawin mamanya sehingga om-om dari si perempuanlah yang bertindak dan berhak untuk membicarakan soal maskawin anak perempuan itu.
Lain hal dengan dengan cara membayar perempuan yang tidak pernah membayar kepala. Jadi dalam hal membayar maskawin itu tidak hanya unag dan babi yang menajadi alat pembayaran maskawin. Tetapi yang paling sering dan sampai saat ini masih digunakan untuk membayar maskawin adalah “Kulit Bia”.
Sejak dahulu hingga saat ini kulit bia masih dapat digunakan oleh suku moni sebagai alat pembayaran maskawin dan kulit bia itu sendiri dapat dimanfaatkan oleh suku moni untuk keperluan hidupnya. Kulit bia tidak hanyaq digunakan oleh suku moni sebagai alat pembayaran ala kuno selain uang yang digunakan sebagai alat pembayaran ala modern. Tidak diketahui secara pasti tentang asal-usul kulit bia yang sudah sedang dan akan diginakan oleh suku moni tersebut. Karena kulit bia hanya terdapat di daerah pesisir pantai. Anehnya di pegunungan terdapat kulit bia yang tak terhitung jumlahnya.
Kulit bia yang dimaksud itu pun ada keterbatasannya. Dan juga dalam budaya orang migani kulit bia itu sendiri ada tingkatan dan juga ada nama tersendiri. Yakni nam-nama kulit bia itu yang lebih besar nilainya beda juga dengan kulit bia yang tak ada nilai sama-sekali.
System pembayaran dalam suku moni selalu dipatokan dengan cara pembayaran ibu dari anak perempuan yang hendak mau diminta atau dituntut maskawin. System ini sudah dianggap sudah menjadi ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan budaya suku migani atau suku moni. Cara membayarnya itu ikut sesuai dengan “tubuh manusia’ bukan beli manusianya tetapi cara membayarnya hamper mirip dengan tubuh manusia. Pertama yang harus dibayar adalah “Indo”. Indo dianggap sebagai kepala. Yang kedua yang harus dibayar adalah “Hondo”. Hondo dianggap sebagai leher. Dan yang berikut adalah “saje”. Yang dimaksud dengan saje disini adalah bagia terkecil dari inti maskawin itu. Kemudia ditamabah dengan “Wogo”. Wogo yang dimaksudkan disini adalah babi. Jadi babi juga digunakan untuk membayar maskawin. Bayar dengan babi pun tergantung pada pembayaran awal. Pembayaran awal yang saya maksudkan adalah disamakan dengan ketentuan dari ibu si anak perempuan. Tingkatan nilai kulit bia yang digunakan untuk menbayar itu pun tergantung pada ketentuan dari pihak perempuan. Samapi saat ini dalam kehidupan suku moni tingkat nilai kulit bia mencapai dua belas (12) tingkat. Dua belas tingkat sama nilai dengan uang seratus juta dan seterusnya sampai tingkat yang paling rendah dengan senilai dengan Rp.100.000 dan lainnya dapat disesuaikan dengan ketentuan dan kesepakatan.
by : Arnold Belau