Rabu, 07 Desember 2011

Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Migani

Oleh : Arnoldus Belau)*

Budaya adalah identitas. Budaya adalah harga diri. Budaya adalah jati diri. Sehingga budaya itu biasa dikatakan bahwa budaya itu menunjukan identitas, harga diri dan dan jati diri. Dengan adanya budaya itu kita bisa mengetahui identitas kita yang sebenarnya (asli). Dan dengan budaya itu pula orang lain yang berbeda budaya dengan kita dapat mengetahui identitas kita yang sebenarnya begitu pun sebaliknya. Budaya lazim diartikan sebagai hasil cipta, buah pikiran dari manusia itu sendiri. Hasil cipta itulah yang disepakati dan ditetapkan dan diangkat bersama menjadi sebuah kebudayaan. Sehinga budaya itu dianggap ciptaan manusia yang disepakati bersama anggota sehingga setiap orang harus menerima dan mengakui hasil ciptaan manusia tersebut. Budaya yang sudah disepakati bersama itu harus dilestarikan dijaga sehingga budaya itu terlestari dan terjaga.
“Siapapun dia, dari manapun dia wajib menjaga dan melestarikan budayanya”.
Masihkah budayaku (Migani) masih terlesatari dan masih terjaga? Sebagai putra asli Migani saya ragu dengan budaya saya, apakah budayaku masih ada atau bila ada akankah masih terjaga dan terlestari. Sejauh ini budaya Migani yang sebenarnya tidak menonjol. Artinya bahwa budaya Migani yang sebenarnya itu sudah mulai ditinggalkan bahkan dilupakan dan dibiarkan begitu saja. Ketika itu tidak satu pun orang yang sadar akan budanya Migani, sehingga tidak menutupi kemungkinan bahwa “budaya Migani akan punah, dan hilang meskipun orang Migani ada dan masih hidup”.
Sejauh ini kita sering tidak sadar bahwa budaya Migani sudah semakin hilang. Dengan mengambil budaya orang lain dan menganggap budaya itu adalah budaya Migani, dengan sendirinya budaya Migani akan semakin hilang. Contoh kongkrit yang bisa kita lihat dalam kehidupan nyata orang Migani. Sebagai contoh saya akan mengambil sebuah contoh kongkrit yakni Sapusa (wisisi).

Menganggap sapusa/wisis sebagai budaya orang Migani dan sampai saat ini kita masih mempertahankannya hingga saat ini. kita mengetahui bahwa sapusa atau wisisi itu bukan budaya orang Migani malahan kita terus ‘memegang’ dan memertahankan budaya tidak baik yang sebenarnya bukan budaya Migani. Sapusa itu bukan budaya Migani tetapi budaya orang lain, dalam hal ini budaya dari suku Nduga (Ndauwa), dan suku Dani. Kita semua mengetahui bahwa itu adalah budaya orang lain tetapi dengan sikap acuh tak acuh terus kita jaga dan lestarikan budaya orang itu, lalu budaya kita suku Migani siapa yang akan jaga dan lestarikan? Yang jelas tidak 100%. Sebab orang lain tidak akan peduli dengan budayanya orang. Yang jelas budaya Migani akan punah karena orang-orang Migani yang ada semuanya Migani fotokopi-an, karena Migani yang ada saat ini bukan Migani yang aslinya sehingga orang Migani cenderung tertarik dengan budayanya orang. Sehingga kita tidak bisa heran jika budaya migani tinggal nama saja, hanya kita bisa dengar cerita saja seperti orang cerita dongeng. Pada hal budaya migani itu ada hanya saja lantaran karena kita orang migani yang tidak mau melestarikan sehingga bisa saja akan punah bahakan akan menghilang samasekali dan tidak akan ada lagi.
Ada beberapa factor yang dapat meneyebabkan lunturnya budaya migani, yakni : malas tau, tak peduli dengan budaya migani, rasa minder, berkecil hati dengan budaya migani, malu hati untuk mengakui dan melestarikan budaya migani dan lain-lain yang bisa menyebabkan hilangnya budaya orang migani. Sehingga dari beberapa factor di atas ini dapat menghasilkan budaya migani yang tidak asli. Dapat mengahasilkan budaya migani fotokopian. Dapat menghasilkan budaya migani yang palsu.
Oleh karena itu setiap insan dari suku migani perlu sadar dan tahu budaya migani yang sebenarnya itu seperti apa. Dan juga perlu sadari bahwa budaya migani juga masih ada. Sehingga diharapkan agar setiap insan dari suku migani.
Untuk melestarikan budaya orang migani kita tidak bisa mengharapkan orang lain yang bukan orang migani yang dating untuk berusaha mempertahanakan budaya migani. Tetapi yang harus menjadi pelaku utama dalam memperhakan dan memelihara serta melesatrikan budaya orang migani adalah orang migani itu sendiri, BUKAN orang lain.
Bagaimana mungkin budaya migani itu akan bertahan jika kita yang punya budaya itu saja malas tahu dengan budaya kita. Sedangkan orang lain menilai kita orang migani adalah suku yang paling kuat dengan budayanya. Untuk menjaga nama baik itu setidaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan suatu usaha untuk melestarikan budaya migani.
Lebih-lebih untuk para remaja dari suku migani supaya setidaknya bisa mengetahui dan memepelajari sedikit tentang budaya migani. Kerapkalai banyak remaja migani yang mengutarakan alas an bahwa “sa lahir di kota jadi sa tidak bisa”. Stop dengan ucapan-ucapan seperti ini. Jika kita tidak mencobanya lalu dari awal sudah menyerah dengan mengatakan “Saya Tidak Bisa”, budaya orang migani kedepan nanytinya seperti apa? Jadi yang sekarang dibutuhkan adalah meskipun anda lahir dimana, besar dimana dan tinggal dimana yang pada umumnya harus bisa berusaha untuk bisa berbahasa migani, karena dasarnya adalah harus bisa berbahasa migani lalu biasa mengetahui budaya migani. Jika sama sekali tidak bisa berbahasa migani, disitulah awal kehancuran budaya migani.
Di lain sisi budaya itu sama ibaratny dengan noken yang menrangkul orang migani yang di dalam noken itu kita orang migani berada. Tetapi bila kita tidak menjaga noken itu, maka noken tersebut akan sobek. Dalam bahawa inggris migani biasanya disebut dengan kata “miga mene mita ombo”. Orang migani bisa merefleksikan sendiri tentang perkembangan budayanya saat ini. apakah sedang berkembang atu sedang dalam proses menuju kehancuran.
Harapan penulis, semoga budaya migani terus berkembang dan terus terpelihara.
Arnold Belau )*