Orang
Moni sebut big man itu sebagai Sonowi.
Sama seperti system Big Man pada suku lainnya, kedudukan sebagai seorang Sonawi
diperoleh melalui jeripayah sendiri, bukan merupakan kedudukan yang diperoleh
secara turun-termurun, begitu juga harta benda yang dimilikinya.
Salah satu
unsur kekayaan seorang Sonowi bisa diukur melalui jumlah maupun nilai kepemiliki
alat pembayaran (uang) orang Moni yang disebut “Kigi” yakni sejenis kulit
kerang tertentu yang ia dapatkan dari hasil penjualan ternak babi atau hasil
pembayaran maskawin kemudian dikembangkan dengan cara berbisnis untuk
mendapatkan tingkatan yang lebih besar. Meski kigi dan kekayaan lainnya
diperoleh lewat usaha sendiri, seorang Sonowi bisanya harus bermurah hati
dengan mengeluarkan kekayaannya kepada anggota sukunya yang membutuhkan. Salah
satu contohnya adalah dalam menyelesaikan sebuah perang, dengan membayarkan
sejumlah nilai tententu Kigi.
Kini
sistem Big Man di Papua dan secara khusus ke-Sonowi-an itu telah tergeser jauh
bahkan makin menghilang begitu saja dengan masuknya modernisasi. Siapa saja
yang berkuasa atau ingin berkuasa bisa memilih dan menjadikan dirinya
seakan-akan sebagi seorang “Pria Berwibawa” sesuai keinginan dan
kepentingannya.
Perang dan
Unsur-unsurnya
Seperti
suku lain yang hidup di dataran tinggi, perang juga menjadi salah satu
mekanisme penyelesaian masalah dan cara untuk mempertahankan identitas diri
dalam kehidupan suatu komunitas. Orang Moni mengenal dua jenis perang: yang
pertama adalah ‘perang internal’ (antar sesama suku Moni) yaitu antar kampung
atau antar marga; sedangakan yang lainnya adalah ‘perang eksternal’ yakni
perang dengan suku-suku tetangga, misalnya suku Wolani, Mee, dan suku lain yang
hidup di sekitar mereka.
Factor
yang banyak mengakibatkan perang adalah masalah perempuan dan masalah ternak
babi, selain itu juga masalah tanah dan akar persoalan lainnya. Tetapi masalah
tanah antar suku moni jarang memicu konflik. Sebagaimana dijelaskan oleh Daut
Maiseni, salah satu tokoh Moni yang suda lama bermungkim di Jayapura (dalam
sebuah wawancara dengan kami). Sama
seperti suku-suku pegunungan tengah Papua lainnya, menurut filosofi orang Moni,
busur dan panah adalah teman. Seorang laki-laki sudah memilikiki busur dan
panah sejak kecil karena sudah menjadi bagian kehidupanya para lelaki. Kemana
saja mereka pergi, pasti membawa busur dan panah. Seorang lelaki tanpa busur
rasanya ganjil. Jika seorang laki-laki tidak memiliki busur, biasanya ia
menjadi cemohan orang dan dianggap perempuan karena para perempuan tidak
memiliki busur. Namun membawa busur dan panah bukan didasari oleh tujuan untuk
membunuh siapa saja yang ditemui, melainkan terutama untuk menjaga diri, juga
untuk melakukan perburuan binatang liar dalam sebuah perjalanan, memanah babi
dan sebagainya. Dan ketika terjadi perang, mereka tidak harus menyiapkan alat
perang lagi karena sudah ada.
Meski
mengganggap seorang lelaki yang tidak memiliki panah dan busur layaknya seorang
perempuan, cemohan itu tidak berarti orang Moni meremehkan peren perempuan.
Sebaliknya, peran perempuan dalam sebuah perang juga sangat signifikan. Di
dalam suasana peperangan, “ada perempuan-perempuan yang berani mengambil peran
sebagai intelijen, mencari tahu kekuatan musuh, mencari tahu jalur (jejak) dan
tempat persembunyian musuh. Selain itu mereka juga berperan dalam menyiapkan
makanan untuk para lelaki. Itu pekerjaan yang berat!”
Menyangkut
persiapan sebelum menuju medan perang, setip pasukan harus mengikusti proses Bo
ala Ndagaia, yang secara harafiah berarti “kupas kulit kayu.” Maksudnya disini
bahwa setiap orang yang akan terlibat dalam perang terlebih dahulu harus
mebersikan diri secara batin sebelum ikut berperang, “Jadi seorang perajurit
harus mengaku semua kesalahan jika tidak ia akan kena panah”. Itu dipahami
sebagai bagian dari tuntutan alam yang harus dipenuhi, bukan merupakan aturan
yang dibuat oleh manusi.
Walaupun
tidak tertulis, orang Moni juga memiliki aturan (hukum) perang yang berlaku
secara turun-temurun, khusus untuk perang dikalangan orang Moni. Diantaranya:
Tidak diperbolehkan membunuh perempuan dan anak-anak; Tidak diperbolehkan
membunuh seorang Sonowi; dan Tidak diperbolehkan mencuri milik kepunyaan musuh
pada saat perang dan aturan-aturan lain yang diluar kewajaran manusia. Jika
hal-hal itu dilanggar maka, ada sangsinya atau akan menimbulkan efek-efek lain
yang tidak diharapkan. Misalnya jika membunuh anak dari pihak musuh maka akan
berakibat pihak musuh juga akan berupaya mebalas dengan membunuh anak dari
pihak pembunuh dengan usia yang hampir sama, padahal anak-anak itu tidak
tahu-menahu tentang persoalan perang dan mereka juga merupakan generasi penerus
bagi pihak lawan. Kemudian, tentang larangan mencuri, terutama hasil kebun atau
ternak milik musuh ini didasarkan pemikiran bahwa pada saat perang pihak musuh
juga butuh makanan, baik bagi anak dan istri mereka serta pasukan perang.
Sedangkan
tentang larangan membunuh Sonowi, didasarkan atas pemikiran bahwa ujung dari
sebuah perang pasti ada proses penyelesaian. Nah, seorang Sonowi adalah
pemegang peran kunci dalam proses penyelesaian tersebut. Sebab Sonowi yang akan
berbicara (bernegoisasi) dan mengamankan situasi, Sonowi jugalah yang akan
memberikan ganti-rugi dengan melakukan “bayar kepala” para prajurit, baik di
pihaknya maupun dipihak musuh yang menjadi korban perang. Khusus untuk
persoalan bayar-kepala ini, ada dua kondisi yang menjadi prasyarat: Petama,
bayar-kepala akan dilakukan kepada pihak musuh jika pihak musuh menyepakati
berdamai meski jumlah prajurit yang mati di pihak musuh berjumlah masih lebih.
Kedua, bayar-kepala akan dilakukan hanya kepada prajurit yang sebenarnya adalah
orang-orang yang bergabung karena rasa solider, meski mereka bukan penyebab
peperangan.
Selain
hukum perang dan alasannya seperti digambarkan di atas, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa pada prinsipnya, menurut orang Moni, manusia itu
saling membutuhkan dan ada ketergantungan hidup antara satu sama lain, sehingga
setelah perang berekhir pun, pasti mereka hidup saling membutuhkan, saling
memberikan anak perempuan untuk diperistri diantara para pemuda suku Moni,
berbisnis kembali, bersahabat dan sebagainya.
Karena itu, tidak heran jika
ketika perang telah lama usai, mereka yang tadinya saling bermusuhan dalam
sebuah perang, dapat berkumpul kembali dalam sebuah diskusi atau senda-gurau.
Bahkan dalam kesempatan itu, biasannya ada salah seorang yang tanpa beban dapat
mengakui kepada orang lain (temannya) yang ada di situ juga, bahwa dirinya yang
memanah sehingga menimbulkan bekas luka pada temannya itu, lalu setelah
mengetahui hal itu, dua orang itu malah saling tertawa (merasa lucu), tanda
tidak ada dendam diantara mereka. Kebiasaan seperti ini munkin saja tidak
ditemukan di suku lain, Sebab sangat berbahaya jika dendam masih ada. Atau,
coba bayangkan seandainya perang dimaksud terjadi antara suku Moni dengan suku
lainnya, mungkin pengakuan macam itu dapat memicu sikap spontan untuk membalas,
misalnya dengan mengakat panah dan memanah orang yang mengakui hal tersebut.
Inilah salah satu contoh yang membadakan suku moni dengan suku-suku lain.
Proses
Penyelesaian Perang
Filosofi
dasar yang berlaku bagi perang orang Moni adalah bahwa manusia itu berharga dan
sama, sehingga kehilangan nyawa harus diganti dengan kehilangan nyawa pulah.
Atas dasar ini, syarat bagi penyelesaian sebuah perang (perdamaian) adalah
jumlah korban kedua belah pihak harus sama. Pihak yang anggotanya menjadi
korban atau jumlah korbannya lebih banyak, biasanya akan berusaha mencari
taktik-taktik baru untuk membalasnya, hingga jumlah korban di kedua pihak sama
baru akan ada perdamaian. Walau demikian, perang dapat saja berakhir karena
kondisi-kondisi tertentu atau dengan solusi yang diterima oleh kedua belah
pihak, diantaranya seperti digambarkan dibawah.
Seandainya
jumlah korban lebih di salah satu pihak dan pihak ini masih berkeinginan untuk
membalasnya (menuntut kesimbangan) meski tidak mampu, sementara pihak lawan
(yang ‘menang’) itu ingin berdamai maka, terpaksa harus ada orang yang
dikorbankan sebagai “babi putih” (korban-damai) oleh pihak yang menang.
Biasanya sang korban itu adalah prajurit dari keluarga atau marga yang punya
masalah, tidak bisa dari kerabat atau marga lain yang hanya bersolider.
Penentuan siapa yang menjadi korban-damai itu diambil dari kesepakatan
orang-orang tertentu dalam keluarga atau marga penyebab perang secara rahasia
dan tidak diketahui si calon korban. Jika konspirasi ini bocor kepada calon
korban, biasanya dilakukan oleh orang yang sangat sayang pada calon korban
(maksudnya agar calon korban melarikan diri). Korban-damai ini tidak akan
dibunuh oleh keluarganya sendiri melainkan akan memberitahukan secara rahasia
kepada pihak musuh untuk dijadikan sasaran. Kemudian kedua belah pihak mengatur
taktik, apakah pihak musuh membunuh sasaran di tempat tertentu atau membunuhnya
saat perang dilangsungkan di lapangan terbuka, dimana perang tersebut hanya
untuk membunuh sasaran tersebut.
Dalam
kondisi yang sama, dimana belum ada keseimbangan soal jumlah korban namun kedua
pihak sepakat berdamai maka, ada juga mekanisme penyelesaian lainnya yang biasa
ditempuh yakni, negosiasi damai secara tertutup (rahasia). Negosiasi itu
biasanya menghasilkan kesepakatan tentang jumlah kigi dan babi yang harus
dibayarkan kepada pihak yang ‘kalah’ (penuntut). Biasanya jumlah babi yang
dibayarkansekitar 50-100 ekor dan kigi yang
berada pada tingkat tententu (sekitar tingkat 12-14).
Jika
pihak tertuntut tidak memiliki kigi sesuai tingkat yang diinginkan maka, Sonowi
dari pihak tertuntut yang akan berperan mencarinya. Misalnya, dia akan pergi
jauh bertemu Sonowi lain yang berbaik hati menukarkan atau mengutangkan kigi
yang dibutuhkan. Sifat penolong dari Sonowi didasarkan pada keyakinan bahwa
menolong orang yang kesusahan adalah hal yang paling berharga dan mulia. Sebab
sebagai manusi, suatu saat dirinya atau anak-cucunya juga akan membutuhkan
pertolongan sesama. Itu sebabnya juga ada Sonowi baik hati, yang tidak pernah
menuntut kembali kigi yang dipinjamkannya. Kalaupun kigi dan babi yang
dibutuhkan tetap tidak mencukupi maka perempuan diberikan sebagai gantinya
dengan hitungan yang setimpal. Dimana proses penyelesaian ini selalu diwarnai
oleh negosiasi (loby-loby), dilandasi etika, sikap rama, mengedepankan sikap
mengalah, kepala dingin demi mendapatkan solusi yang dianggap adil.
Tidak
sampai disitu, masing-masing pihak juga harus bersiap-siap membayar bila diantara
mereka yang bersolider kepada masing-masing pihak ada yang meninggal dalam
perang tersebut. Dalam hal ini, dengan saling mengerti dan memahami antar kedua
pihak, Jika tidak mampu mebayar dalam waktu yang cepat maka pihak penuntut akan
memberikan waktu 10-15 tahun bahkan lebih kepada pihak yang tertuntut. Ini
selang waktu bagi pihak tertuntut kesempatan untuk berkebun, memelihara babi,
berbisnis (mengumpulkan Kigi) dalam siatuasi aman.
Dimana
besar pembayarannya hampir sama, tetapi akan berlipat jika tidak hanya satu
orang yang mati dan ini tentu sangat memberatkan untuk diselesaikan.
Refleksi Akhir
Perang
sebenarnya bukan pilihan mekanisme yang disukai. Perang adalah cambuk yang
memberikan hikmat. Sebab perang itu menimbulkan resiko banyaknya pengorbanan
harta benda juga nyawa. Karena itu, di honai laki-laki (Nduni) para orang tua
suku Moni selalu menasihati anak-anaknya agar selalu waspada dalam tindakan
sehari-hari, tentang bahaya dan hal yang baik. Ini warisan turun-temurun yang
sangat berharga.
Walaupun
dalam tulisan ini terbatas dan masih banyak yang belum disinggung, namun ini
sebagai sebuah gambaran bahwa dalam perjuangan rakyat-bangsa Papua saat ini,
kadang kita tidak mengambil dan mempratekkan filosofi adat-kebudayaan kita.
Walau Kadang tidak sesuai dengan konteks saat ini. Sebab mungkin kita berpikir
bahwa jaman sekarang, perang mensyaratkan senjata dan organisasi yang canggih.
Pada pinsip-prinsip dasar, taktik-taktik dan nilai-nilai sebenarnya masih
relefan.
Dan semua itu adalah kekayaan yang Tuhan wariskan kepada kita untuk
pertahankan hidup kita di atas tanah ini. Dimana dengan cara-cara itu, kita
dapat mengatur diri kita, mempertahankan identitas dan eksistensi kita,
mempertahankan warisan budaya kita, nyatakan bahwa kekayaan yang ada di atas
tanah ini adalah milik kita, harus katakan bahwa nilai dan harga kita juga sama
dengan orang lain yang hidup di planet bumi ini dengan cara kita sendiri. Ini
penting, selain memang kita perlu juga mempelajari pengalaman orang lain dalam
melawan penindasan dan aspek kehidupan mereka sebagai bahan perbandingan. Arnold Belau*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....