Sabtu, 02 Mei 2015

Ulang Tahun Ikatan Alumni Adhi Luhur ke-2


"Jadikan Nabire Sebagai Kota Pendidikan"

Sebuah kain hitam bertuliskan "HUT ke-2 Ikatan Alumni SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d'Armandvile' dan thema "Jadikan Nabire Sebagai Kota Pendidikan" yang ditulis rapi dengan guntingan huruf dari kertas berwarna hijau daun yang ditempel rapi pada kain hitam itu. Kain hitam tersebut dipasang tepat di depan kelas.

Kursi-kursi tersusun rapi dari depan ke belakang.

Sebelah kiri tengah dari depan, seorang siswa duduk berhadapan dengan keyboard atau yang lazim disebut orgen. Jari-jemarinya asik menari ria diatas keyboard tanpa suara dan hanya irama yang ia mainkan. Ia adalah Juan, ia sering memandu lagu dengan orgen di gereja sehingga baginya tak asing menari dengan jemari manisnya di keyboad orgen. Juan adalah siswa Adhi Luhur, saat ini ia duduk di bangku kelas XII jurusan Ilmu Alam.

Rabu, 18 Desember 2013

Mengenang Satu Tahun Kepergianmu, Ananias (I)

Ilustrasi Kecelakaan. Foto; Its
Tulisan ini saya buat untuk mengenang satu tahun kepergian kakak terkasih, Ananias Belau yang meninggal karena kecelakaan lalulintas pada tanggal 26 November 2012. 

Hari ini adalah hari selasa. Tanggal dua puluh enam. Bulang ke sebelas. Di tahun dua ribu dua belas. Kurang lebih dua puluh lima hari lagi kita akan menrayakan pesta natal. Pesta gembira bersama keluarga. Entah sendiri ataupun dengan semua anggota keluarga. Tentu moment natal adalah moment penting bagi semua umat kristen di seleuruh belahan planet ini. Tak luput saya pun menganggap memonet ini adalah moment paling penting dalam hidup saya.

Dalam hidup saya, saya bisa hitung berapa kali saya merayakan natal bersama keluarga tercinta. Juga saya bisa hitung berapa kali saya rayakan pesta penting pada moment natal itu sendirian.


Senin, 24 Desember 2012

Surat Untuk Ayah Tercinta di Surga

Arnold Bela, Foto: Dok Pribadi
Selamat berjumpa ayah. Berharap ayah baik-baik dan sehat-sehat saja disana. Ayah, sudah 9 tahun kita tidak Natal besama. Bahkan semenjak kepergianmu ke dunia kedua pada lima tahun yang lalu membuat saya harus ada perasaan iri kepada mereka yang masih mendapat kasih sayang dari ayah mereka di saat-saat seperti ini.

Ayah, hanya aku ingin sampaikan selamat Natal untuk Ayah. Saya menulis sepangkal surat yang berisikan sederetan hufuf dan kalimat yang menyatu dan membentuk sebuah paragraf yang punya makna dan arti.
Ayah, jujur dari hatiku yang paling dalam, Saya rindu Bapak. Jadinya saya teringat Natal terakhir bersama Ayah di tahun 2006 di dusun tercinta.


Senin, 03 Desember 2012

Selamat Jalan Ananias Belau

Ananias Belau 
Tong 2 tidur di satu tempat tidur
tong 2 tidur di satu tikar
tong 2 makan di satu piring
tong 2 hidup, lahir dan besar di satu rumah, bahkan diasuh pula oleh satu orang tua
tong 2 pernah mengenyam pendidikan pun sama2 dan tinggal hidup di asrama yang sama pula
tong 2 besar di alam yang sama, dimana di alam yang sangat bersahabat dengan kami, 
bersama alam yang alami dan bersahabat dengan tong 2 dan tong 2 pu ade2.

Ikatan batin antar ko deng sa sangat kuat dan teguh
tapi sekarang ko su tabaring di tempat tidur yang hanya bisa terisi oleh tubuhmu. Kau terbaring tanpa senyum dan tanpa suara.

kau sudah tidak bisa bicara dan memang tidak bisa karena saat ini kau sudah pergi dan takkan kembali
hanya ragamu yan bisa sa peluk dengan air mata dan dengan beribu pertanyaan yang terlintas dan terus terlintas mencari alasan dibalik kejadian yang telah membuatmu tak berdaya dan tak bisa bersuaralagi itu.

Air mata terus berlinang di pipi


Kamis, 08 November 2012

Tabi, Bermula dari Perdagangan


Andy Tagihuma : Foto Ist
Nama Hollandia diresmikan Kapten KNIL FJP Sachse pada 7 Maret 1910 yang menandai pembangunan perumahan dan tempat kerja; pos di Pulau Debi kemudian ditutup dan dipindahkan ke Hollandia.

SEJAK berabad-abad yang lalu Tabi yang berada di bibir lautan Pasifik dengan pemandangan indah panorama alam yang berbukit-bukit mengundang para pelaut yang melewati utara Papua untuk singgah sejenak. Keindahan Tanah Tabi itu tercatat dalam penggalan catatan harian Pdt. Bink, “Semua musafir yang mengunjungi Teluk Yotefarau Menyatakan kagum akan keindahan alamnya…kesan yang sama telah saya dapatkan tahun yang lalu, ketika mengadakan kunjungan yang singkat. Dan kini, setelah memasuki teluk itu dan kemudian dari dekat berkenalan dengan bagian dalamnya, saya harus mengatakan, “Ya, benar Teluk Yotefarau dan terutama teluk bagian dalamnya, menyajikan pemandangan yang indah.”

Para pelaut Eropa yang melakukan ekspedisi ke Samudera Hindia, dan melewati Papua di antaranya, Jorge de Meneses pada 1524, Alvaro Saavedra 1528, Grijalva Y Alvarado 1537, Inigo Ortiz de Retes 1545. De Reteslah yang memberikan nana Nova Guinea. Namun khusus untuk Tanah Tabi, pelayar berkebangsaan Prancic Louis Antonie Baron de Bougainville tiba pada 1768.


“Aku” Tetap “Papua”


Andy Tagihuma, Foto : Ist
Gitar diraih; jemari menari di senar, nada merdu mengalun menyusupi telinga: “Aku Papua.”

Tanah Papua/tanah yang kaya/
surga kecil jatuh kebumi/
seluas tanah sebanyak batu/
adalah harta harapan/
Tanah Papua/ tanah leluhur/
di sana aku lahir/ bersama angin
bersama daun/
aku dibesarkan
Reff
Hitam kulit/ keriting rambut/
aku Papua/
biar nanti langit terbelah/
aku Papua

(Lagu “Aku Papua,” pencipta dan vokal: Franky Sahilatua)

SEBELUM “Aku Papua” populer, Franky Sahilatua, penggubah dan pelantun lagu balada sarat kritik sosial, sudah sering menyanyikannya. Nyanyian itu biasa dilantunkan selepas diskusi di komunitas-komunitas di kota-kota di Pulau Jawa.

Lagu ini diinspirasikan oleh diskusi Franky dengan teman-teman Papuanya, seperti Wilson Wanda dan Robby Rumbiak. selain oleh perjalanannya sendiri ke Papua.

Franky mengalegorikan Papua sebagai surga (paradise, Eden) bertumpukan masalah kronis. Penduduk negeri terpinggirkan, dan tersudutkan di tanah sendiri.


Sepenggal Cerita Neli Nawipa dan Marina Wandikbo


Andy Tagihuma, Foto : Ist
Sore itu Neli Nawipa mengisahkan pengalamannya sebagai guru di daerah terpencil, di Kabupaten Jayawijaya. Saya sangat termotivasi dengan suasana ini, karena dengan demikian, setiap pelajaran yang saya berikan, selalu diikuti denagn riang gembira. Ketika melihat anak-anak mulai jenuh di dalam kelas, saya ajak mereka keluar ruangan dan menggelar proses belajar-mengajar di halaman, diselingi permainan yang menyenangkan. Saya memanfaatkan apa saja yang ada di pekarangan sekolah untuk bahan simulasi. Neli mengawali ceritanya sambil membayangkan situasi di tempatnya bertugas.

Sebagai seorang guru, saya sudah lama mendambahkan penyegaran, terutama berkaitan dengan materi-materi pembelajaran dan metodologinya. Penyegaran ini saya butuhkan karena saya bertugas di sebuah wilayah yang sangat jauh dari pusat informasi. Terpencil.

Ternyata, mengusai metode pembelajaran yang baik itu sangat menyenangkan, bahkan suasana bisa menjadi sangat komunikatif antara saya sebagai guru dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak sangat rindu akan kehadiran saya, sehingga ketika saya tidak hadir ke kelas untuk mengajar mereka. Pada keesokan harinya, mereka selalu bertanya, “Ibu, kenapa ibu guru tra masuk sekolah kemarin?”

Wamena, Kabupaten Jayawijaya, itulah tempat aku mengabdi, tepatnya di SD Negeri Wamena. Sebelum mengabdi di situ, saya ditempatkan di SD Inpres Yanengga. Kini 20 tahun sudah saya meniti karier sebagai guru.

Saya terpanggil menjadi guru karena terinspirasi oleh ayah saya yang juga seorang guru di Wamena. Ayah bagi saya adalah sang guru yang berwibabwa. Apa yang diajarkan, selalu didengar oleh anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil, saya terinspirasi dengan ayah dan bercita-cita menjadi guru. Saya ingin mendidik anak-anak Papua nun jauh di pegunungan, membimbing dan membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang siap di kemudian hari untuk menghadapi masa depan penuh tantangan.

Jayawijaya adalah sebuah kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sangat terisolir secara geografis. Untuk menjangkau kabupaten tersebut, saya harus menumpang pesawat dari Jayapura. Namun saya tidak gentar karena saya juga berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya Paniai. Karena itu, dengan senang hati saya menerima tugas sebagai guru di Jayawijaya.

Seperti kebanyakan guru di pedalaman, tantangan memang luar biasa berat. Tidak hanya soal jarak, tetapi juga mentalitas masyarakat untuk menyekolahkan anak. Gedung sekolah, ruang kelas, dan buku-buku pelajaran masih sangat terbatas.

Setiap hari, selama dua jam saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan kendaraan roda empat dari rumah menuju tempat tugas saya di SD INPRES Yanengga, Disktrik Bolakme. Bila terlampau sore, tidak ada kendaraan yang menuju Yanengga, semuanya parkir menunggu penumpang di Wosi, saya harus berjalan kaki 10 kilometer menuju Wosi untuk pulang ke Wamena.

Dari begitu banyak persoalan yang dihadapi, saya terus berusaha mencari metode paling ampuh untuk membuat murid-murid betah bersekolah. Saya juga terus menyadarkan para orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.

Ada penggalan kisah yang jika saya ingat, selalu membuatku terharu dan meneteskan air mata. Kisah tentang seorang anak perempuan bernama Marina Wandikbo, murid saya yang cacat pada salah satu kakinya. Namun, saat baru naik kelas V21SD, orangtuanya menikahkan anak itu. Kegetiran hidup pun mulai menghampiri gadis putus sekolah itu, ketika sang suami meninggalkannya.

Penderitaan Marina kian memuncak. Sudah cacat fisik, menanggung status janda pula. Saat mendengar ada guru perempuan yang baru datang dari kota untuk mengajar di kampungnya, ia dengan bersusah payah berenang menyeberangi Sungai Baliem untuk bertemu saya. “Ibu saya senang ada guru perempuan, di sini semua guru laki-laki, saya mau sekolah,” begitu pinta Marina pada saya.
“Kenapa kau berhenti sekolah?”

“Orang tua kasih kawin saya, tapi sa punya suami kasih tinggal saya”
Saya katakan padanya, “Perempuan normal saja ditinggalkan para suami, apalagi kamu perempuan cacat. Kau masuk kembali ke sekolah. Kau pasti bisa dan akan menjadi orang yang berhasil!” Perempuan itu pun kembali ke bangku pendidikan SD sampai tamat.

Belakangan ini, hati saya berbunga-bunga, karena pada musim testing masuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini di lingkup Kabupaten Jayawijaya , Marina lulus sebagai guru Bahasa Indonesia. Ketika ia datang menyampaikan warta kelulusannya, ia mengatakan dengan jujur tentang kekurangannya.

“Ibu dengan kondisi kaki saya yang cacat ini, saya tidak kuat berdiri di depan kelas.” Saya terharu. Saya langsung bergegas ke Kepala Dinas Pendidikan Jayawijaya, memohon agar Marina tidak ditugaskan sebagai guru, karena kondisi fisiknya. Kepala dinas memahami dan memperbolehkan Marina bekerja di Dinas Pendidikan.

Kini Marina bangga menjadi CPNS. Sebuah perjuangan sukses telah ia raih setelah bangkit dari kejatuhannya.

Apa yang saya lakukan mungkin dilihat sebagai tindakan sepele, tetapi dampaknya akan jauh ke depan. Perempuan itu akan bercerita bahwa ia pernah jatuh terjerembab dalam kungkungan adat istiadat, namun berhasil bangkit untuk meniti masa depannya sebagai perempuan karier. Apalagi ia perempuan cacat.
Saya merasa, Marina hanyalah satu dari begitu banyak gadis-gadis di seluruh Tanah Papua yang bernasib sama. Ada yang mirip sama sekali tapi dalam bentuk dan jubah yang berbeda. Namun, yang penting, harus ada keberanian untuk mendobrak kemapanan budaya, salah pandang dalam masyarakat dan kebijakan yang kurang memihak perempuan dan anak-anak, agar lebih banyak lagi “Marina-Marina” lain yang terselamatkan dari tindakan mengawinkan mereka saat masih gadis remaja, memperkerjakan mereka di ladang atau bentuk eksploitasi lain, tanpa memperhatikan pendidikan sebagai bekal hidup di kemudian hari.

Ketika mengingat, saya terus meneteskan air mata, mengenang perjuangan Marina dan keberanian saya mendobrak tradisi. Semoga hikmah dari cerita mengenai Marina ini bisa memotivasi perempuan-perempuan Papua lainnya untuk sekolah, maju dan berkembang seperti laki-laki.

Kedekatan saya dengan Marina, setipis kulit bawang, sampai-sampai dia memperlakukan saya tidak hanya sebagai guru, tetapi juga kawan sejati, teman curhat, sekaligus orangtua. “Saya yakin, jika dengan metode pembelajaran yang baik, akan lebih banyak perempuan Papua yang betah di sekolah. Dan dengan bekal ilmu dan pengetahuan, mereka bisa merajut hari esok dengan pasti.” Neli mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca. (Andy Tagihuma)



Rabu, 24 Oktober 2012

Gambaran Umum Pemahaman Orang Luar Papua Terhadap Papua

Krismas Bagau : Foto Ist

Ada yang tanya saya begini apakah orang Papua bunuh orang Papua itu bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan itu, ini jawaban saya,….
Gambaran umum situasi Papua mengalami budaya membisu, diam dan takut melihat situasi Papua. Kadang orang bertanya mengapa terjadi pembunuhan? Dimana letak persoalan sebenarnya? Pertanyaan sederhana namun menyakitkan ketika orang pertanyaan seperti ini. Akal persoalan yang terjadi seluruh tanah Papua adalah orang Papua ingin menjadi tuan di negerinya sendiri. Mengapa ingin menjadi tuan di negerinya sendiri, karena pemerintah Indonesia mempunyai agenda besar dalam jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang seperti kepentingan politik, ekonomi, keamanan dan lebih parah lagi pemusnaan etnis Melanesia terjadi di tanah Papua secara sistematis dan struktural. Hal tersebut di kemas dalam pembangunan nasional.
Dalam penderitaan orang Papua banyak orang, dalam hal ini penguasa,para elit politik dan tentunya orang-orang binaan NKRI menari-nari atau berdansa-dansa di atas penderitaan orang Papua. Sementara sumber daya manusia dan sumber daya alam diexploitasi atas nama NKRI. Contoh: ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudara nya untuk melihat kerja paksa mereka, Dilihatnya seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu. Ia menoleh ke sana-kesini dan ketika melihatnya tidak ada orang dan Musa membunuh orang Mesir itu dan disembunyikannya mayat itu dalam pasir (keluaran 2: 11-12)
Dengan melihat persoalan ini, saudara-saudari yang tidak tahu Tanah Papua mengatakan bahwa di Papua terjadi banyak pembunuhan. Memang tidak bisa menyangkal eksistensi ini sebagai budaya NKRI terhadap tanah Papua yang terjadi penangkapan, pembunuhan secara terstruktular .
Bukan itu saja, ketika orang Papua menyuarakan aspirasi mereka agar martabat dan harga diri orang Papua dihargai, sedang dan terus menyuarakan suara bagi kaum yang tidak bersuara . Kebebasan dihadang untuk berdemonstrasi minta kebebasan dan meminta kesejaterahan namun diperhadapkan dengan moncong senjata dan diadili dengan  hukum serta dijerat pasal maker. Sementara kebebasan berdemonstrasi dijamin  oleh UU yang notabenenya UU yang dibuat oleh Negara Indonesia sendiri untuk menyampaikan pikiran atau pendapatnya tetapi tidak membuka peluang oleh NKRI. NKRI maunya berada dalam penjara ketakutan, kegelapan masa depan, eksproitasi, diskriminasi budaya bisu dan takut menyelesaikan persoalan Papua.
 Mengalami persoalan seperti ini NKRI sendirilah menciptakan sumber konflik yang tercipta di seluruh Tanah Papua sebagai tempat lahan/kebun mereka untuk berbisnis. Akibat dari persoalan tersebut peperangan pun tercipta membuat bagi orang yang tidak tahu tanah Papua mengatakan di Papua terjadi pembunuhan oleh orang Papua sendiri.
Pemahaman ini salah. Pada hal yang menciptakan sumber konflik di tanah Papua adalah pemerintah Indonesia dalam hal Ini  TNI/Polri yang mengacaukan situasi tanah Papua demi kepentingannya sendiri.
 Kebanyakan persoalan yang terjadi di Tanah Papua adalah ulah pemerintah NKRI sendiri. Orang Indonesia dalam hal ini NKRI merancang pemusnaan etnis Melanesia secara pelan-pelan. Roh Tuhan ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku ; ia telah mengutus aku untuk meyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, membebaskan orang-orang terpenjarah, untuk memberitakan tahun Tuhan sudah dekat.
 Umat Tuhan yang diluar penjara dikejar dan dalam penjarah diam membisu, ditindas, dianiaya, dibantai, dipukuli, ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, eksproitasi takut yang disebabkan oleh kekejaman dan penjajahan Indonesia melampaui batas kemampuan manusia membuat orang orang Papua mencoba melawannya tetapi orang Papua diperhadapkan pada pembunuhan, pembantaian bagaikan binatang mau disembeli.
Juga di Papua dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer), dan TBO yang singkatannya Tenaga Bantuan Operasi diturunkan ke Papua. Ini semua mengingkatkan kepada orang luar yang tidak tahu tentang Tanah Papua dan sering mengatakan pembunuhan terus terjadi karena malam menjadi keheningan yang meyelimuti dalam ingatan masyarkat Papua. Rentetan demi rentetan tembakan terus terjadi di tanah Papua menjadi saksi bisu ketika melihat kenyataan yang terjadi di mata orang Papua.
Keadilan sejati hanya ada pada Allah seluruh sekalian alam. Karena itu manusia wajib menyatakan dirinya dalam kebenaran dan keadilan sejati itu. Agar sanggup mengaktualisasikan martabat dan hakekat eksistensialnya sebagai manusia diantara sesama, tetapi juga sebagai hamba dihadapan Sang Pencipta.
Bisa melihat perlakuan pemerintah pemerintah kepada orang Papua seperti pembodohan, pemiskinan, diintimidasi, diteror  atas nama pembangunan nasional adalah salah satu pelanggaran HAM.
Maka perlu bertindak demi nasib masa depan anak cucu Papua. Supaya dapat memperoleh kemerdekaan dalam arti kesejaterahan yang sejati, sesuai visi dan misi otonomi khusus ditanah Papua dari sisi lain juga.
Ini semua merupakan  sebuah perjuangan untuk mencapai fundamental dan hakiki. Sebuah pencapaian yang dibutuhkan ialah sejarah pembuktian bahwa kehidupan problematika kehiduapan masyarakat Papua terletak pada akar masalah yang terus dialami sehingga pemahaman orang luar Papua bahwa Papua terus terjadi pembunuhan. Pembunuhan itu sebenarnya dilakukan oleh TNI/Polri yang memback up agar kkonflik antar orang Papua terjadi. Hal ini  tidak pernah dipikirkan namun yang disalahkan adalah orang Papua.
Jadi inti persoalan tentang pembunuhan yang terjadi di Papua itu adalah pihak ketiga yang intervensi kedalam. NKRl-lah yang menjadi aktor utama dalam seluruh kehidupan orang Papua demi mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Papua. Kemudian bagi masyarakat Papua tidak pernah merencanakan suatu kegiatan Pembunuhan. namun ini semua terjadi kepentingan pihak ketiga yang menciptakan lahan bisnis yang terstruktul dan sistematis sehingga kondlik antar orang Papua itu bisa terjadi.
 
Oleh : Krismas Bagau