Senin, 24 Desember 2012

Surat Untuk Ayah Tercinta di Surga

Arnold Bela, Foto: Dok Pribadi
Selamat berjumpa ayah. Berharap ayah baik-baik dan sehat-sehat saja disana. Ayah, sudah 9 tahun kita tidak Natal besama. Bahkan semenjak kepergianmu ke dunia kedua pada lima tahun yang lalu membuat saya harus ada perasaan iri kepada mereka yang masih mendapat kasih sayang dari ayah mereka di saat-saat seperti ini.

Ayah, hanya aku ingin sampaikan selamat Natal untuk Ayah. Saya menulis sepangkal surat yang berisikan sederetan hufuf dan kalimat yang menyatu dan membentuk sebuah paragraf yang punya makna dan arti.
Ayah, jujur dari hatiku yang paling dalam, Saya rindu Bapak. Jadinya saya teringat Natal terakhir bersama Ayah di tahun 2006 di dusun tercinta.


Senin, 03 Desember 2012

Selamat Jalan Ananias Belau

Ananias Belau 
Tong 2 tidur di satu tempat tidur
tong 2 tidur di satu tikar
tong 2 makan di satu piring
tong 2 hidup, lahir dan besar di satu rumah, bahkan diasuh pula oleh satu orang tua
tong 2 pernah mengenyam pendidikan pun sama2 dan tinggal hidup di asrama yang sama pula
tong 2 besar di alam yang sama, dimana di alam yang sangat bersahabat dengan kami, 
bersama alam yang alami dan bersahabat dengan tong 2 dan tong 2 pu ade2.

Ikatan batin antar ko deng sa sangat kuat dan teguh
tapi sekarang ko su tabaring di tempat tidur yang hanya bisa terisi oleh tubuhmu. Kau terbaring tanpa senyum dan tanpa suara.

kau sudah tidak bisa bicara dan memang tidak bisa karena saat ini kau sudah pergi dan takkan kembali
hanya ragamu yan bisa sa peluk dengan air mata dan dengan beribu pertanyaan yang terlintas dan terus terlintas mencari alasan dibalik kejadian yang telah membuatmu tak berdaya dan tak bisa bersuaralagi itu.

Air mata terus berlinang di pipi


Kamis, 08 November 2012

Tabi, Bermula dari Perdagangan


Andy Tagihuma : Foto Ist
Nama Hollandia diresmikan Kapten KNIL FJP Sachse pada 7 Maret 1910 yang menandai pembangunan perumahan dan tempat kerja; pos di Pulau Debi kemudian ditutup dan dipindahkan ke Hollandia.

SEJAK berabad-abad yang lalu Tabi yang berada di bibir lautan Pasifik dengan pemandangan indah panorama alam yang berbukit-bukit mengundang para pelaut yang melewati utara Papua untuk singgah sejenak. Keindahan Tanah Tabi itu tercatat dalam penggalan catatan harian Pdt. Bink, “Semua musafir yang mengunjungi Teluk Yotefarau Menyatakan kagum akan keindahan alamnya…kesan yang sama telah saya dapatkan tahun yang lalu, ketika mengadakan kunjungan yang singkat. Dan kini, setelah memasuki teluk itu dan kemudian dari dekat berkenalan dengan bagian dalamnya, saya harus mengatakan, “Ya, benar Teluk Yotefarau dan terutama teluk bagian dalamnya, menyajikan pemandangan yang indah.”

Para pelaut Eropa yang melakukan ekspedisi ke Samudera Hindia, dan melewati Papua di antaranya, Jorge de Meneses pada 1524, Alvaro Saavedra 1528, Grijalva Y Alvarado 1537, Inigo Ortiz de Retes 1545. De Reteslah yang memberikan nana Nova Guinea. Namun khusus untuk Tanah Tabi, pelayar berkebangsaan Prancic Louis Antonie Baron de Bougainville tiba pada 1768.


“Aku” Tetap “Papua”


Andy Tagihuma, Foto : Ist
Gitar diraih; jemari menari di senar, nada merdu mengalun menyusupi telinga: “Aku Papua.”

Tanah Papua/tanah yang kaya/
surga kecil jatuh kebumi/
seluas tanah sebanyak batu/
adalah harta harapan/
Tanah Papua/ tanah leluhur/
di sana aku lahir/ bersama angin
bersama daun/
aku dibesarkan
Reff
Hitam kulit/ keriting rambut/
aku Papua/
biar nanti langit terbelah/
aku Papua

(Lagu “Aku Papua,” pencipta dan vokal: Franky Sahilatua)

SEBELUM “Aku Papua” populer, Franky Sahilatua, penggubah dan pelantun lagu balada sarat kritik sosial, sudah sering menyanyikannya. Nyanyian itu biasa dilantunkan selepas diskusi di komunitas-komunitas di kota-kota di Pulau Jawa.

Lagu ini diinspirasikan oleh diskusi Franky dengan teman-teman Papuanya, seperti Wilson Wanda dan Robby Rumbiak. selain oleh perjalanannya sendiri ke Papua.

Franky mengalegorikan Papua sebagai surga (paradise, Eden) bertumpukan masalah kronis. Penduduk negeri terpinggirkan, dan tersudutkan di tanah sendiri.


Sepenggal Cerita Neli Nawipa dan Marina Wandikbo


Andy Tagihuma, Foto : Ist
Sore itu Neli Nawipa mengisahkan pengalamannya sebagai guru di daerah terpencil, di Kabupaten Jayawijaya. Saya sangat termotivasi dengan suasana ini, karena dengan demikian, setiap pelajaran yang saya berikan, selalu diikuti denagn riang gembira. Ketika melihat anak-anak mulai jenuh di dalam kelas, saya ajak mereka keluar ruangan dan menggelar proses belajar-mengajar di halaman, diselingi permainan yang menyenangkan. Saya memanfaatkan apa saja yang ada di pekarangan sekolah untuk bahan simulasi. Neli mengawali ceritanya sambil membayangkan situasi di tempatnya bertugas.

Sebagai seorang guru, saya sudah lama mendambahkan penyegaran, terutama berkaitan dengan materi-materi pembelajaran dan metodologinya. Penyegaran ini saya butuhkan karena saya bertugas di sebuah wilayah yang sangat jauh dari pusat informasi. Terpencil.

Ternyata, mengusai metode pembelajaran yang baik itu sangat menyenangkan, bahkan suasana bisa menjadi sangat komunikatif antara saya sebagai guru dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak sangat rindu akan kehadiran saya, sehingga ketika saya tidak hadir ke kelas untuk mengajar mereka. Pada keesokan harinya, mereka selalu bertanya, “Ibu, kenapa ibu guru tra masuk sekolah kemarin?”

Wamena, Kabupaten Jayawijaya, itulah tempat aku mengabdi, tepatnya di SD Negeri Wamena. Sebelum mengabdi di situ, saya ditempatkan di SD Inpres Yanengga. Kini 20 tahun sudah saya meniti karier sebagai guru.

Saya terpanggil menjadi guru karena terinspirasi oleh ayah saya yang juga seorang guru di Wamena. Ayah bagi saya adalah sang guru yang berwibabwa. Apa yang diajarkan, selalu didengar oleh anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil, saya terinspirasi dengan ayah dan bercita-cita menjadi guru. Saya ingin mendidik anak-anak Papua nun jauh di pegunungan, membimbing dan membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang siap di kemudian hari untuk menghadapi masa depan penuh tantangan.

Jayawijaya adalah sebuah kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sangat terisolir secara geografis. Untuk menjangkau kabupaten tersebut, saya harus menumpang pesawat dari Jayapura. Namun saya tidak gentar karena saya juga berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya Paniai. Karena itu, dengan senang hati saya menerima tugas sebagai guru di Jayawijaya.

Seperti kebanyakan guru di pedalaman, tantangan memang luar biasa berat. Tidak hanya soal jarak, tetapi juga mentalitas masyarakat untuk menyekolahkan anak. Gedung sekolah, ruang kelas, dan buku-buku pelajaran masih sangat terbatas.

Setiap hari, selama dua jam saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan kendaraan roda empat dari rumah menuju tempat tugas saya di SD INPRES Yanengga, Disktrik Bolakme. Bila terlampau sore, tidak ada kendaraan yang menuju Yanengga, semuanya parkir menunggu penumpang di Wosi, saya harus berjalan kaki 10 kilometer menuju Wosi untuk pulang ke Wamena.

Dari begitu banyak persoalan yang dihadapi, saya terus berusaha mencari metode paling ampuh untuk membuat murid-murid betah bersekolah. Saya juga terus menyadarkan para orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.

Ada penggalan kisah yang jika saya ingat, selalu membuatku terharu dan meneteskan air mata. Kisah tentang seorang anak perempuan bernama Marina Wandikbo, murid saya yang cacat pada salah satu kakinya. Namun, saat baru naik kelas V21SD, orangtuanya menikahkan anak itu. Kegetiran hidup pun mulai menghampiri gadis putus sekolah itu, ketika sang suami meninggalkannya.

Penderitaan Marina kian memuncak. Sudah cacat fisik, menanggung status janda pula. Saat mendengar ada guru perempuan yang baru datang dari kota untuk mengajar di kampungnya, ia dengan bersusah payah berenang menyeberangi Sungai Baliem untuk bertemu saya. “Ibu saya senang ada guru perempuan, di sini semua guru laki-laki, saya mau sekolah,” begitu pinta Marina pada saya.
“Kenapa kau berhenti sekolah?”

“Orang tua kasih kawin saya, tapi sa punya suami kasih tinggal saya”
Saya katakan padanya, “Perempuan normal saja ditinggalkan para suami, apalagi kamu perempuan cacat. Kau masuk kembali ke sekolah. Kau pasti bisa dan akan menjadi orang yang berhasil!” Perempuan itu pun kembali ke bangku pendidikan SD sampai tamat.

Belakangan ini, hati saya berbunga-bunga, karena pada musim testing masuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini di lingkup Kabupaten Jayawijaya , Marina lulus sebagai guru Bahasa Indonesia. Ketika ia datang menyampaikan warta kelulusannya, ia mengatakan dengan jujur tentang kekurangannya.

“Ibu dengan kondisi kaki saya yang cacat ini, saya tidak kuat berdiri di depan kelas.” Saya terharu. Saya langsung bergegas ke Kepala Dinas Pendidikan Jayawijaya, memohon agar Marina tidak ditugaskan sebagai guru, karena kondisi fisiknya. Kepala dinas memahami dan memperbolehkan Marina bekerja di Dinas Pendidikan.

Kini Marina bangga menjadi CPNS. Sebuah perjuangan sukses telah ia raih setelah bangkit dari kejatuhannya.

Apa yang saya lakukan mungkin dilihat sebagai tindakan sepele, tetapi dampaknya akan jauh ke depan. Perempuan itu akan bercerita bahwa ia pernah jatuh terjerembab dalam kungkungan adat istiadat, namun berhasil bangkit untuk meniti masa depannya sebagai perempuan karier. Apalagi ia perempuan cacat.
Saya merasa, Marina hanyalah satu dari begitu banyak gadis-gadis di seluruh Tanah Papua yang bernasib sama. Ada yang mirip sama sekali tapi dalam bentuk dan jubah yang berbeda. Namun, yang penting, harus ada keberanian untuk mendobrak kemapanan budaya, salah pandang dalam masyarakat dan kebijakan yang kurang memihak perempuan dan anak-anak, agar lebih banyak lagi “Marina-Marina” lain yang terselamatkan dari tindakan mengawinkan mereka saat masih gadis remaja, memperkerjakan mereka di ladang atau bentuk eksploitasi lain, tanpa memperhatikan pendidikan sebagai bekal hidup di kemudian hari.

Ketika mengingat, saya terus meneteskan air mata, mengenang perjuangan Marina dan keberanian saya mendobrak tradisi. Semoga hikmah dari cerita mengenai Marina ini bisa memotivasi perempuan-perempuan Papua lainnya untuk sekolah, maju dan berkembang seperti laki-laki.

Kedekatan saya dengan Marina, setipis kulit bawang, sampai-sampai dia memperlakukan saya tidak hanya sebagai guru, tetapi juga kawan sejati, teman curhat, sekaligus orangtua. “Saya yakin, jika dengan metode pembelajaran yang baik, akan lebih banyak perempuan Papua yang betah di sekolah. Dan dengan bekal ilmu dan pengetahuan, mereka bisa merajut hari esok dengan pasti.” Neli mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca. (Andy Tagihuma)



Rabu, 24 Oktober 2012

Gambaran Umum Pemahaman Orang Luar Papua Terhadap Papua

Krismas Bagau : Foto Ist

Ada yang tanya saya begini apakah orang Papua bunuh orang Papua itu bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan itu, ini jawaban saya,….
Gambaran umum situasi Papua mengalami budaya membisu, diam dan takut melihat situasi Papua. Kadang orang bertanya mengapa terjadi pembunuhan? Dimana letak persoalan sebenarnya? Pertanyaan sederhana namun menyakitkan ketika orang pertanyaan seperti ini. Akal persoalan yang terjadi seluruh tanah Papua adalah orang Papua ingin menjadi tuan di negerinya sendiri. Mengapa ingin menjadi tuan di negerinya sendiri, karena pemerintah Indonesia mempunyai agenda besar dalam jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang seperti kepentingan politik, ekonomi, keamanan dan lebih parah lagi pemusnaan etnis Melanesia terjadi di tanah Papua secara sistematis dan struktural. Hal tersebut di kemas dalam pembangunan nasional.
Dalam penderitaan orang Papua banyak orang, dalam hal ini penguasa,para elit politik dan tentunya orang-orang binaan NKRI menari-nari atau berdansa-dansa di atas penderitaan orang Papua. Sementara sumber daya manusia dan sumber daya alam diexploitasi atas nama NKRI. Contoh: ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudara nya untuk melihat kerja paksa mereka, Dilihatnya seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu. Ia menoleh ke sana-kesini dan ketika melihatnya tidak ada orang dan Musa membunuh orang Mesir itu dan disembunyikannya mayat itu dalam pasir (keluaran 2: 11-12)
Dengan melihat persoalan ini, saudara-saudari yang tidak tahu Tanah Papua mengatakan bahwa di Papua terjadi banyak pembunuhan. Memang tidak bisa menyangkal eksistensi ini sebagai budaya NKRI terhadap tanah Papua yang terjadi penangkapan, pembunuhan secara terstruktular .
Bukan itu saja, ketika orang Papua menyuarakan aspirasi mereka agar martabat dan harga diri orang Papua dihargai, sedang dan terus menyuarakan suara bagi kaum yang tidak bersuara . Kebebasan dihadang untuk berdemonstrasi minta kebebasan dan meminta kesejaterahan namun diperhadapkan dengan moncong senjata dan diadili dengan  hukum serta dijerat pasal maker. Sementara kebebasan berdemonstrasi dijamin  oleh UU yang notabenenya UU yang dibuat oleh Negara Indonesia sendiri untuk menyampaikan pikiran atau pendapatnya tetapi tidak membuka peluang oleh NKRI. NKRI maunya berada dalam penjara ketakutan, kegelapan masa depan, eksproitasi, diskriminasi budaya bisu dan takut menyelesaikan persoalan Papua.
 Mengalami persoalan seperti ini NKRI sendirilah menciptakan sumber konflik yang tercipta di seluruh Tanah Papua sebagai tempat lahan/kebun mereka untuk berbisnis. Akibat dari persoalan tersebut peperangan pun tercipta membuat bagi orang yang tidak tahu tanah Papua mengatakan di Papua terjadi pembunuhan oleh orang Papua sendiri.
Pemahaman ini salah. Pada hal yang menciptakan sumber konflik di tanah Papua adalah pemerintah Indonesia dalam hal Ini  TNI/Polri yang mengacaukan situasi tanah Papua demi kepentingannya sendiri.
 Kebanyakan persoalan yang terjadi di Tanah Papua adalah ulah pemerintah NKRI sendiri. Orang Indonesia dalam hal ini NKRI merancang pemusnaan etnis Melanesia secara pelan-pelan. Roh Tuhan ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku ; ia telah mengutus aku untuk meyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, membebaskan orang-orang terpenjarah, untuk memberitakan tahun Tuhan sudah dekat.
 Umat Tuhan yang diluar penjara dikejar dan dalam penjarah diam membisu, ditindas, dianiaya, dibantai, dipukuli, ketakutan, kegelapan masa depan, diskriminasi, eksproitasi takut yang disebabkan oleh kekejaman dan penjajahan Indonesia melampaui batas kemampuan manusia membuat orang orang Papua mencoba melawannya tetapi orang Papua diperhadapkan pada pembunuhan, pembantaian bagaikan binatang mau disembeli.
Juga di Papua dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer), dan TBO yang singkatannya Tenaga Bantuan Operasi diturunkan ke Papua. Ini semua mengingkatkan kepada orang luar yang tidak tahu tentang Tanah Papua dan sering mengatakan pembunuhan terus terjadi karena malam menjadi keheningan yang meyelimuti dalam ingatan masyarkat Papua. Rentetan demi rentetan tembakan terus terjadi di tanah Papua menjadi saksi bisu ketika melihat kenyataan yang terjadi di mata orang Papua.
Keadilan sejati hanya ada pada Allah seluruh sekalian alam. Karena itu manusia wajib menyatakan dirinya dalam kebenaran dan keadilan sejati itu. Agar sanggup mengaktualisasikan martabat dan hakekat eksistensialnya sebagai manusia diantara sesama, tetapi juga sebagai hamba dihadapan Sang Pencipta.
Bisa melihat perlakuan pemerintah pemerintah kepada orang Papua seperti pembodohan, pemiskinan, diintimidasi, diteror  atas nama pembangunan nasional adalah salah satu pelanggaran HAM.
Maka perlu bertindak demi nasib masa depan anak cucu Papua. Supaya dapat memperoleh kemerdekaan dalam arti kesejaterahan yang sejati, sesuai visi dan misi otonomi khusus ditanah Papua dari sisi lain juga.
Ini semua merupakan  sebuah perjuangan untuk mencapai fundamental dan hakiki. Sebuah pencapaian yang dibutuhkan ialah sejarah pembuktian bahwa kehidupan problematika kehiduapan masyarakat Papua terletak pada akar masalah yang terus dialami sehingga pemahaman orang luar Papua bahwa Papua terus terjadi pembunuhan. Pembunuhan itu sebenarnya dilakukan oleh TNI/Polri yang memback up agar kkonflik antar orang Papua terjadi. Hal ini  tidak pernah dipikirkan namun yang disalahkan adalah orang Papua.
Jadi inti persoalan tentang pembunuhan yang terjadi di Papua itu adalah pihak ketiga yang intervensi kedalam. NKRl-lah yang menjadi aktor utama dalam seluruh kehidupan orang Papua demi mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Papua. Kemudian bagi masyarakat Papua tidak pernah merencanakan suatu kegiatan Pembunuhan. namun ini semua terjadi kepentingan pihak ketiga yang menciptakan lahan bisnis yang terstruktul dan sistematis sehingga kondlik antar orang Papua itu bisa terjadi.
 
Oleh : Krismas Bagau

Minggu, 14 Oktober 2012

Aneh, Ada Pemungut Kaleng di Tanah yang Kaya Raya

Arnold Belau
Ada sebuah pertanyaan yang sering muncul dari dalam pikiran saya ketika melihat bocah-bocah pribumi Papua memungut kaleng di pinggiran jalan. Mengapa ada pemungut kaleng diatas lumbung emas? Mengapa mereka memungut kaleng? Pertanyaan ini selalu mengintai pikiranku. Terus  dan terus aku berusaha untuk menemukan jawaban namun sangat sulit untuk menemukan dan terkadang rasanya stress untuk menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.

Mengapa ada pemungut kaleng diatas lumbung emas? Alasan utama yang paling mendasar adalah kurang mendapat perhatian dari orang tua. Meskipun di Papua terdapat berlimpah salah satu faktor utama untuk menjadikan orang sukses atau tidak sukses, berhasil atau tidak berhasil, mau jadi baik atau buruk, mau jadi rusak atau tidak itu semuanya tergantung pada cara mendidik anak dari orang dalam keluarga. 

Selain itu pada masa kanak-kanakan dan remaja hal yang paling dibutuhkan adalah kasih sayang dan perhatian dari pada orang tua. Sehingga sejak masih dalam tahap kanak-kanak dan remaja orang tua harus berusaha sebaik mungkin agar measa depan anaknya baik. Karena jika tidak memberikana kasih sayang dan perhatian yang baik kepada anak-anaknya tidak menutupi kemungkinan bahwa masa depan anaknya akan jadi suram. Apabilah dalam keluarga mendidik anak dengan baik maka kepribadian anak tersebut akan baik dan masa depannya pun akan lebih baik. Jika dalam medidik anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua maka kepribadiannya akan menjadi kurang baik dan masa depannya akan kurang baik juga. Untuk menjawab pertanyaan, Mengapa ada pemungut kaleng diatas lumbung emas? Jawabannya adalah tergantung didikan dari orang tua dan tergantung pula perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anak. Kunci utama dalam membentuka kepribadian anak adalah orang tua sehingga orang tua dituntut untuk mendidik dan membentuk karakter anak dalam keluarga yang baik. Sebab apapun yang terjadi pada anak itulah hasil dari pada didikan yang diperoleh dari orang tua. Dalam kehidupan kita sehari-hari sering kali kita jumpai anak-anak yang kerjanya mengumpulakan kaleng dan bestu (besi tua) sebab tidak ada kerjaan yang bisa mereka lakukan.

Sehingga tidak heran jika diatas lumbung emas terdapat pemungut kaleng. Oleh karena itu kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa bila ada anak-anak yang kerjanya mengumpulkan kaleng di pinggiran jalan.

Apa saja yang mereka peroleh dari hasil pemungutan kaleng? Setelah mengumpulkan dan memungut kaleng, mereka membawa kaleng dan bestu tersebut kepada pembeli. Setelah menjual dan dapat uang dari hasil pemungutan kaleng dan besi tua, yang mereka lakukan adalah, beli minuman keras (miras) lalu mengomsumsinya, beli lem aibon lalu menghisap lem tersebut dengan maksud agar menghisap lem aibon dan bisa mabuk, beli roko dan membeli apa saja yang mereka inginkan. Yang mereka lakukan hanya untuk membeli dan miliki barang-barang yang bisa memuaskan mereka. Semuanya itu karena kurang mendapat kasih sayang dan perhatian dari orang tua, dengan demikian secara otomatis perkembangan kepribadian pun akan seperti yang mereka tanamkan sejak masa kanak-kanak dan masa remaja. Tempat tinggalnya pun tidak menetap seakan-akan anak-anak ini tidak ber-orang tua. Kehidupan mereka sangat memprihatinkan.

Apa yang harus dilakukan terhadap mereka agar kehidupan mereka kelak bisa berubah?

 Tidak ada cara lain selain memberikan perhatian secara khusus terhadap mereka. Hal yang terutama adalah kembali kepada orang tua, yakni bagaimana memberikan perhatian dan kasih sayang agar anak-anak tersebut benar-benar merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang tua sehingga dapat bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang punya impian dan mimpi yang indah bagi masa depannya. Hal yang kedua , jalan alternaif yang harus diperhatikan juga oleh pemerintah baik pemerintah adalah memberikan perhatian yang baik dengan cara mengumpulakn para pemungut kaleng dan bestu itu lalu memberikan pemahaman yang  mengambil hati mereka yang arahnya menuju ke jalan yang baik agar mereka bisa sadar bahwa yang mereka lakukan selama ini adaalah buruk. Kemudian bisa juga memberikan pekerjaan yang bisa mengubah hidup mereka menjadi agar tidak lagi mengumpulkan kaleng di pinggiran jalan.

Kerapkali pemerintah juga acuhkan dan tak memberi perhatian yang serius. Pada hal dana-dana yang masuk di provinsi Papua dan Papua Barat sangat besar jumlahnya mulai dari dan OTSUS dan yang sekarang pemerintah pusat programkan UBP4 untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Jika pemerintah ingin agar masyarakatnya hidup sejahtera, setidaknya sebagian dan dialihkan untuk memperhatikan anak-anak yang terlantar. Jiak program ini berjalan dengan baik maka kesejahteraan akan tercapai. Dalam hal ini pemerintah juga dituntut untuk membuka mata dan memperhatikan anak-anak yang terlantar. Sebab uang-uang yang masuk di khas daerah provinsi Papua yang ada hanya jumlah dananya tetapi realisasinya tidak ada karena udan-dan itu hilang dari pertengahan jalan, entah kemana tidak tahu,

Semoga pemerintah bisa membuka mata dan memerhatikan kondisi anak-anak pemungut kaleng ini.

Arnold  Belau




MIMPI PANJANG PENDERITAAN RAKYAT PAPUA

Garda Papua
 “Otonomi Khusus (OTSUS) Kacau Balau”….Itulah ungkapan yang dikeluarkan Oleh Gubernur Barnabas Suebu pasca menduduki Tahta Pemerintahan Propinsi Papua. Itu artinya selama masa kekuasaan Gubernur sebelumnya (Almarhum J.P Salossa) tidak mampu merumuskan strategi penerapan Otonomi khusus yang diberikan sebagai jalan tengah meredam Aspirasi Merdeka yang diinginkan oleh seluruh rakyat Papua. Perdebatan tentang Otsus sampai saat ini masih terjadi misalnya pada tahun 2005 dengan ribuan kekuatan Rakyat bersama Dewan Adat Papua mengembalikan Otsus dan menuntut Referendum. 

Bahkan di bulan Juli 2010, musyawarah besar rakyat di Majelis Rakyat Papua menyatakan dengan tegas, bahwa OTSUS gagal total karena tidak mampu menjawab tingkat kesejahteraan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur, tidak adanya aturan-aturan hukum daerah ( Peraturan Daerah Khusus), tidak berfungsinya 4 pilar OTSUS (Majelis Rakyat Papua, komisi hukum Ad Hoc, Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi, Kantor perwakilan Komisi Hak Asasi Manusia, sehingga hasil Mubes Rakyat Papua mengeluarkan 11 rekomendasi tuntutan Rakyat Papua diantaranya; Undang-undang otonomi Khusus No. 21/2001 dikembalikan kepada Pemerintah NKRI; Segera dilakukan dialog antara Bangsa Papua dengan Pemerintah NKRI yang dimediasi pihak Internasional yang netral; Segera lakukan referendum bagi penentuan nasib Rakyat Papua; Pemerintah NKRI mengakui dan kembalikan kedaulatan Rakyat-Bangsa Papua sesuai proklamasi 1 Desember 1961; Mendesak dunia Internasional untuk berlakukan embargo dalam pelaksanaan OTSUS; OTSUS tidak perlu direvisi seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35 Tahun 2008 tentang perubahan undang undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; Seluruh proses Pemilukada Kabupaten/kota se-Papua dihentikan; Para gubernur, DPRP dan DPRD Papua Barat, para Bupati, Wali Kota, dan DPRD kabupaten/kota se-Tanah Papua, segera hentikan penyaluran dana bagi penyelenggaraan Pilkada; Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera hentikan program transmigrasi dan perketat pengawasan terhadap arus migrasi ke Tanah Papua; Segera membebaskan seluruh Tapol/Napol Papua tanpa syarat; Segera Lakukan Demiliterisasi di Tanah Papua; dan Segera tutup P.T Freeport. Hal ini membuktikan bahwa masa kekuasaan Almarhum Jap. Salosa maupun Barnabas Suebu tidak mampu menerapkan dan menjalankan OTSUS yang menurut Jakarta mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Papua. 

***Ingatan Rakyat Papua Terhadap Sejarah Peradaban dan Perjuangan*** 

Dahulu Papua merupakan daerah yang tidak tersentuh dari kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia, aktivitas kehidupan setiap suku-suku tetap berjalan dari tahun ke tahun dengan perkembangan peradabannya. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang Majapahit, Cina, Gujarat dan India lebih dulu singgah di Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda. Ada perubahan yang cepat ketika mulai tersentuh dengan bangsa lain seperti , Portugis, Spanyol, Inggris dan melalui Misionaris dari Jerman Ottow dan Geisler di tahun 1855 memasuki wilayah perairan Teluk Cenderawasih tepatnya di pulau Mansinam Manokwari. Di wilayah selatan menurut peneliti berkebangsaan Inggris, Thomas W. Arnold, agama Islam sudah ada pada abad XVI melalui kesultanan Bacan sekitar tahun 1520 an. Menurut DR. FC. Kamma wilayah daerah Teluk Cenderawasih merupakan daerah pertukaran/barter kebutuhan-kebutuhan ekonomi, bahkan sebelum Ottow dan Geisler memasuki wilayah itu di tahun 1814 Sultan Dayghton dari Celebes (Makassar) sudah terlebih dahulu menjajaki daerah tersebut. Pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda mengumumkan kekuasaannya atas daerah Papua Barat dan meresmikan benteng Du Bus di kampung Lobo, Teluk Triton (Kaimana-Fakfak) sebagai symbol kekuasaan atas pulau Papua atau Nieuw Guinea. Selanjutnya pos-pos pemerintah Belanda didirikan di Manokwari dan Fak-fak pada tahun 1898 dan Merauke pada tahun 1910-setelah muncul sengketa dengan Inggris, Merauke merupakan daerah perbatasan dengan wilayah kekuasaan Inggris ( PNG)-, tahun 1904 diteluk Humboldt dibangun juga pos pemerintahan tepatnya di perkampungan yang dinamakan Hollandia, yang sekarang di kenal dengan Jayapura.

 ***Kepentingan Ekonomi Internasional Di Papua*** 

Pada awal abad 1900-an, Belanda mulai membuka perkebunan-perkebunan, Tahun 1935, perusahaan-perusahaan besar Belanda dan Inggris menggabungkan modal mereka dan mendirikan Perusahaan Nederlandsch Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM) bertujuan untuk melakukan eksplorasi untuk mencari sumber-sumber minyak dan kandungan mineral di wilayah Papua – sebelumnya (tahun 1907) perusahaan pertambangan minyak Royal Duutch Shell telah di bentuk namun tidak maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta besar yang menanamkan modal dalam NNGPM adalah Bataafsche Pasific Petroleum Maatschappij, Standard vacuum Oil Company, dan Nederlandsche Pasific Proteleum Maatschappij, dengan masing-masing memiliki saham 40%. Dari pemerintah Belanda, NNGPM memperoleh hak atas daerah konsensi seluas 10.0000.000 hektar, yakni seluruh daerah kepala burung atau 1/3 daerah Papua. Ini sebagai konsensi pemerintah Belanda terhadap perusahaan swasta. NNGPM mendirikan pangkalan-pangkalan pesawat terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan Ayamaru, guna kepentingan meneliti potensi lainnya dari udara. Hasil penelitian memperlihatkan adanya sumber-sumber minyak dan sumber mineral lain, sehingga tahun 1935 mulai diadakan penggalian percobaan di daerah pedalaman kepala burung (Sorong dan Teluk Bintuni). Dari hasil perkembangan industri minyak yang semakin luas tersebut, dapat membiayai penelitian ilmiah dan mendatangkan para ilmuwan dari luar yaitu ahli zoology, botani, kehutanan, geologi, geografi dan antropologi untuk mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari potensi mineral. Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut yakni dengan melakukan pendakian ke gunung Cartenz dan Eksberg, yang sekarang menjadi tempat beroperasinya pengembangan tembaga berskala besar (P.T Freeport), eksplorasi ini juga sekaligus mengembangkan peta Papua. Namun semua usaha perekomomian terhenti karena perang Pasifik, mengakibatkan perkembangan modal di Papua pun jadi terhambat. Sejak kepergian Belanda dari Papua pada tahun 1962 dan masuknya Indonesia pada Mei 1963 tidak banyak perubahan yang terjadi. Pemerintah Indonesia hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Belanda, yaitu mengatur administrasi pemerintahannya di Papua, membangun sekolah-sekolah yang sebagian besar hanya mampu diisi oleh penduduk pendatang yang tinggal di Papua, dan kesehatan yaitu mengambil alih tugas-tugas pengelolaan rumah sakit dan puskesmas peninggalan Belanda. Pada waktu itu semua pegawai pemerintahan diganti dengan orang-orang Indonesia. Arus migran dari Indonesia pun makin kencang, baik yang didatangkan atas rencana pemerintah maupun sebagai migran spontan. Selain sebagai pegawai pemerintah mereka juga berprofesi sebagi pedagang dan petani, yang lebih maju dari masyarakat Papua. 

***Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Papua*** 

Di masa pemerintahan Soekarno, kepentingan modal internasional sangat terganggu dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia,. Situasi ini menjadi penghalang bagi masuknya modal di Indonesia, maka tidak ada jalan lain kecuali kekuatan penghalang itu harus di hancurkan, maka dicarilah sekutu sekaligus agen yang akan melaksanakan tugasnya tersebut, dipilihlah militer sebagai sekutu dan agennya. Terjadilah pergantian kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965, naiklah sang diktaktor Soeharto mewakili kekuatan militer yang menjadi agen dari modal Internasioanal. Setelah tumbangnya Sukarno, babak baru eksploitasi dan membuat kesepakatan untuk perputaran modal internasional maka dengan kekuatan militer me-represif dan memanipulasi PEPERA Tahun 1969. Perlahan dibawah Orde Baru (Orba), Indonesia memasuki era keterbukaan terhadap modal Internasional. UU Penanaman Modal Asing (PMA) dengan mudah diundangkan oleh Soeharto pada tahun 1967. Mulailah aliran dana luar negeri diinvestasikan di Papua. PT.Freeport berdiri, mengeruk kekayaan alam Papua, dan berbagai macam perusahaan nasional maupun asing lainnya. Juga lembaga-lembaga Internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) yang dikendalikan para pemilik modal besar Amerika Serikat dan sekutunya mulai mengatur ekonomi Indonesia dalam sebuah kerangka ekonomi liberal “pembangunanisme”. Papua memasuki era baru, neo-kolonialisme ( Penjajahan baru di bidang ekonomi ) dengan kepanjangan tangannya Orde baru. Bersama kekuatan militer, Orde Baru mengambil alih semua perusahaan-perusahaan asing di Papua ke tangan militer dan pengusaha-pengusaha dari birokrasi. – hak erfpacht (Guna Usaha) perusahaan dialihkan ke militer, perkebunan milik negara, militer, dan swasta di kontrol oleh jaringan keluarga Soeharto. Sekarang Papua telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem perekonomian modal internasional yang diorientasikan pada ekspor sehingga bergantung pada bidang ekstraktif dan pertanian.

 ***Reformasi Tahun 1998 dan Jalan Tengah OTSUS***

Rezim Suharto – Habibie (1997 – 1998) memang terkenal otoriter dan diwarnai dengan sistem kekeluargaan yang kental, hal ini menghambat akumulasi (perputaran) modal dan investasi asing. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya kepentingan modal internasional tidak terlalu peduli dengan sistem pemerintahan yang otoriter atau sebanyak apa rakyat Indonesia dibantai pada masa itu, karena yang lebih penting bagi pihak internasional adalah terciptanya kondisi yang stabil dan aman bagi uang atau investasi modal dengan hasil yang memuaskan bagi mereka. Pada masa rezim ini, tak ada satu tokoh politikpun yang berani melawan Suharto karena kuatnya struktur penindasan Suharto lewat Golkar dan Dwi Fungsi ABRI. Pemerintahan yang korup, tingginya tingkat inflasi, bangkrutnya sektor riil akibat krisis ekonomi, dan kekerasan negara memunculkan gelombang perlawanan rakyat yang kemudian berkembang menjadi lebih politis dan meluas dengan melibatkan mahasiswa. Gerakan tersebut berhasil menumbangkan Suharto yang berkuasa hampir 32 tahun lamanya. Hal tersebut kemudian memaksa Suharto meletakkan jabatannya dan menyerahkan kursi Kepresidenan kepada wakilnya B. J Habibie pada bulan Mei 1998. Ditengah kuatnya kekuatan modal internasional, maka pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melakukan Liberalisasi ( perdagangan bebas) terhadap sektor ekonomi dimana kekuasaan ekonomi tidak lagi berada ditangan Suharto dan kroninya tetapi harus bebas kepada semua kekuatan elit-elit pemilik modal nasional. Pada masa-masa awal reformasi tersebut, partisipasi politik rakyat sangat tinggi dan banyak organsisasi yang muncul bagai jamur dimusim hujan serta banyak demonstrasi yang dilakukan dengan tuntutan yang berbeda-beda. Sesuai dengan tututan kepentingan modal internasional, maka wacana Otonomi Daerah mulai di bahas seiring dengan ketidakpuasan beberapa daerah di Indonesia dan ancaman 3 daerah (Aceh, Timor-Timur, dan Irian Jaya) untuk melepaskan diri dari NKRI. Hal tersebut mengharuskan Habibie membuat regulasi tentang Otonomi Daerah lewat UU No 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada masa inilah, Habibie kemudian menawarkan opsi Otonomi Khusus atau Referendum bagi Timor-Timur. Sedangkan untuk Irian Jaya, Habibie dan DPR RI menetapkan UU No 45/1999 tentang Pemekaran Wilayah Irian Jaya yaitu propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian dikuatkan lagi dengan penunjukan pejabat Gubernur yaitu Herman Monim (Irja Tengah), dan Abraham O. Atururi sebagai Gubernur Irjabar lewat Kepres RI No 327/M/1999 tertanggal 5 Oktober 1999. Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR RI mengeluarkan ketetapan MPR RI No IV/MPR/1999 untuk mendukung penetapan pemberlakuan Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI yang diikuti dengan langkah-langkah strategis yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui proses pengadilan yang adil dan jujur. Setelah turunnya Habibie dari tampuk pemerintahan, ia digantikan oleh rezim yang terdiri dari para tokoh Cianjur yaitu Gus Dur – Mega (2000 – 2001). Mengikuti langkah pemimpin terdahulu (Habibie), Gus Dur yang juga salah satu tokoh reformasi melakukan perbaikan dengan mengeluarkan kebijakan yang memberi ruang pada terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis dan memihak rakyat namun tetap melaksanakan agenda Liberalisasi ekonomi. Namun usaha perbaikan kearah lebih demokratis tersebut mendapat tantangan disebabkan terjadinya perpecahan diantara para tokoh reformasi tersebut melawan kekuatan lama yang membacking Suharto yaitu Golkar dan ABRI. Pada masa Gus Dur, wacana Otonomi Khusus tersebut mulai digarap lebih serius bersama Pemerintah Irian Jaya. Salah satunya adalah mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, selain itu mendorong pembuatan draf Undang-Undang Otonomi Khusus yang melibatkan kalangan akademisi Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua serta penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat Papua. Usaha dan niat baik Gus Dur dan unsur-unsur demokratik itu mendapat tantangan yang kuat. Gus Dur mulai dituduh sehubungan dengan Dana Bantuan Sultan Brunei, kasus Bulog, dan kasus separatisme (terselenggaranya Kongres Rakyat Papua II). Hambatan-hambatan tersebut memuncak dengan dilakukannya Sidang Istimewah MPR pada tanggal 23 Juli 2001 yang kemudian memutuskan untuk menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan dan menggantikannya dengan wakilnya saat itu, Megawati Sukarno Putri. Turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan menunjukkan kekalahan unsur-unsur demokratik dan kemenangan dipihak unsur ultranasionalis yang diwakili oleh Megawati, dan PDI-P, serta poros tengah Amien Rais dan partai-partai pendukungnya. Rezim Megawati yang dikenal dengan Mega – Haz memang agak berbeda wataknya karena lebih bersifat ultranasionalis (sangat nasionalis). Komposisi rezim Mega – Haz merupakan komposisi pemerintahan yang baik sekali bagi kekuatan pendukung Suharto yaitu TNI/POLRI dan Golkar. Wacana dan draft RUU Otonomi Daerah yang digarap oleh Pemda Papua dan Akademisi Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua tersebut kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU Otsus Papua yang telah diedit dan dimodifikasi sesuai keinginan Pemerintah pada tanggal 22 Oktober 2001. Sikap setengah hati dari Megawati ditunjukan dengan dikeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) no. 1/2003 untuk percepatan Implementasi UU no. 45/ 1999 tetang Pemekaran Papua menjadi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan pembentukan kota sorong. Inpres tersebut sangat bertentangan UU.No.21/2001 tentang OTSUS yang telah di undangkan. Dimasa Rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Yusup Kalla, sistem pemilihan secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan ada ruang demokrasi yang melibatkan rakyat di dalam perpolitikan nasional. Rakyat Indonesia membutuhkan perubahan mendasar pada kehidupan bangsa yang lebih baik dari pemimpin-pemimpin rezim sebelumnya. Kemenangan SBY-JK melalui partai Demokrat ini menunjukkan bahwa rakyat sudah jenuh dan protes kepada partai berkuasa sebelumnya yakni PDI-P dan GOLKAR Namun Rakyat Indonesia mulai hilang harapan, karena pemerintah SBY-Kalla masih menerapkan system ekonomi yang sama dengan pemerintahan sebelumnya antara lain membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan pesananan modal internasional, sehingga aturan-aturan hukum-hukum yang menjadi dasar pelaksanaan kebikajakan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat masih berpihak kepada modal internasional. Untuk masalah Papua SBY-JK berkomitmen dalam programnya untuk melaksanankan UU No. 21/2001 secara utuh dan konsekuen, sehingga mengeluarkan keputusan pemerintah No.54/2004 tentang MRP. Aturan ini mengatur secara khusus tentang prosedur pemilihan dan komposisi anggota MRP. Namun dalam pelaksanaanya MRP tidak mempunyai fungsi yang jelas untuk mengontrol kebijakan bagi kepentingan masyarakat adat, perempuan dan agama. MRP hanya di jadikan simbol untuk memenuhi amanat UU. Otsus no.21 tahun 2001 dan meredam tuntutan rakyat Papua yang semakin tidak percaya dengan keberadaan OTSUS . SBY justru membuat kebijakan-kebijakan yang sangat kontaproduktif dengan mengembangkan berbagai pemekaran di kabupaten-kabupaten baru tanpa melalui mekanisme MRP dan DPRP yang jelas melanggar dan bertentangan dengan UU OTSUS. Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) no. 1/2008 tentang perubahan UU. No.21 tahun 2001 yang kemudian diterapkan menjadi UU. No. 35/2008 untuk mengakomodir Propinsi illegal, Irian Jaya Barat menjadi Papua Barat dan Irian Jaya menjadi Papua tanpa melewati mekanisme MRP dan DPRP tetapi melalui keputusan sepihak pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia . Hal ini membuktikan SBY sangat tidak serius dan kebijakan yang dibuat sangat politis untuk memikikan integritas NKRI sehingga kesejahteraan rakyat yang terakomodir dalam UU.21/2001 di khianati. Saat ini muncul wacana dan perdebatan terhadap pembentukan MRP Papua Barat, DPR Papua Barat, dan legitimasi peraturan daerah khusus yang berlaku untuk 2 propinsi tersebut.

***Ingatan Sejarah Melandasi Semua Perlawanan Rakyat Papua*** 

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, dan jangan sekali-kali melupakan sejarah” itulah beberapa pernyataan Soekarno untuk menghargai proses perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia . Proses Sejarah peradaban dan perjuangan diatas menegaskan dan meyakinkan tentang apa menjadi dasar kekuatan-kekuatan perlawanan rakyat Papua terhadap setiap rezim Pemerintah NKRI. Perjuangan Papua sampai saat ini membuktikan komitmen rakyat untuk mengawal bahkan menolak dengan tegas setiap aturan-aturan hukum Pemerintah Pusat yang sangat tidak memihak dan mematikan perkembangan manusia Papua. Otonomi Khusus yang diberikan kepada rakyat Papua bukan karena niat baik pemerintah tetapi karena ada gerakan perlawanan secara terus menerus yang dilakukan oleh rakyat dengan taruhan nyawa . Ada penilaian positif Rakyat Papua terhadap Bangsa Belanda, karena mereka mampu meningkatkan sumber daya manusia (tenaga produktif), baik pendidikan, kesehatan, peningkatan taraf hidup, infrastruktur, dan membentuk nasionalisme Papua. Namun ketika tahun 1969 PEPERA dilaksanakan dengan manipulasi dan kekerasan militer mengakibatkan trauma dan semakin hilang rasa kepercayaan rakyat Papua. Pembantaian, pembunuhan kilat, penghilangan nyawa secara paksa dan penculikan merupakan kebijakan yang sampai saat ini masih dipakai Pemerintah NKRI untuk meredam suara-suara kritis untuk menuntut keadilan. Hal ini terjadi dalam setiap peristiwa pelanggaran HAM (tahun 1963-tahun 2010 ) tidak ada satupun yang diselesaikan, sistem ekonomi dikuasai oleh para pendatang, pendidikan yang tidak menghargai kebudayaan asli Papua, kesehatan yang jauh dari teknologi, angka kematian yang tinggi, tersingkirnya Masyarakat Adat, dan pembiaran kepentingan investasi terhadap sumber daya alam secara legal maupun illegal. Keberhasilan pembangunan yang selama ini dikampanyekan oleh Pemerintah Pusat ternyata cuma dirasakan para birokrasi pemerintah Provinsi, Kabupaten, Distrik dan Kampung, para elit birokrasi Papua semakin lupa diri dan berfoya-foya dengan uang yang bertrilyun-trilyun tanpa mengevaluasi kegagalan-kegagalan kebijakan yang memarginalnya masyarakat Papua secara sistematis. Semua ini merupakan bentuk pejajahan yang sistematis dari pemerintah NKRI sehingga solusi untuk menyelesaikan persoalan diatas adalah Persatuan gerakan untuk memajukan potensi perlawanan. Seluruh kelompok gerakan perjuangan baik faksi-faksi, organisasi pemuda sudah saatnya untuk memikirkan dan membentuk pemerintahan oposisi/komposisi nasional/dewan nasional/pemerintahan persatuan/pemerintahan transisi ataupun apapun namanya untuk menyatukan konsep gerakan dalam satu wadah yang solid dan memiliki mekanisme kerja yang jelas serta melakukan kerja-kerja yang terstruktur di basis Masyarakat Adat sehingga menemukan budaya perlawanan yang baru yaitu perlawanan rakyat yang sesuai dengan kondisi masyarakat Adat Papua (Nasta).

oleh : Oleh :  Manyouri   
Sumber : www.gardap.org