Minggu, 23 September 2012

RIP For You SMS (Salju Mon Sani)

RIP Sahabatku
Salju Moni Sani (SMS) itulah namamu kawan. Kami bertemu di pertengahan tahun 2006. Hingga saat ini. Mendengar kabar kepergianmu, sungguh hati kecil tak percaya bahwa kau sudah pergi mendahului kami semua. Saya sangat tidak mengerti dan tidak mengerti. Mengapa Moni harus pergi. Moni pergi mendahului kami karena apa? Semuanya itu kabur.

Tak ada yang bisa menjelaskan alur cerita ini. Kecuali dirimu Moni. Tapi kapan kamu akan menceritan semuanya itu pada saya. Sedangkan saat saat ini kita sudah berada di dunia yang berbeda. Kamu di dunia yang saya juga tidak tahu sedangkan saya di planet yang pernah kita ukir sebuah sejarah. Di planet yang pernah kita bercanda, tawa dan berguarau bersama. Di palnet yang penuh dengan kejahatan, penuh dengan persilatan, penuh dengan segala kriminalitas ini. 

Saya mengerti saat ini. Bahwa kau sudah taka ada. Sudah tak mungin lagi untuk bertemu bertatap muka bahkan bisa bercerita tentang masa depan kita selayaknya seperti kita masih di Jayanti, Nabire. Tempat ayah dan bunda membesarkan dan melahirkan kita. Tempat kita menyatu dengan alam dan lingkungan jayanti yang sangat bersahabat dengan kami. Tempat dimana kita bisa bermain. Disanalah tempat yang sanagat indah. Di jayanti inilah kita pernah mengukir sebuah alur cerita yang tak bisa kami lupakan bersama. Di Jayanti ini pula kita pernah merancang sebuah rencana yang kami rencanakan dengan gaya dan cara kami. Kini engkau pergi. Saya tak sanggup menjalani hidup ini untuk mencapai dan meraih rencan yang pernah kita buat itu. Sangat tidak mampu sendiri tanap dirimu, kawanku. 

Kau pernah berkata pada saya. “hidupku bagaikan langkah kakiku yang selalu silih berganti, kadang di depan dan kadangkala dibelakang pula. Namu semuanya itu kulalui jalan yang berlika-liku. Hidup penuh dengan warna dan warni. Lalu warna apakah yang harus aku pilih….??” Saya belum sempat menjawab pertanyaanmu. Sangat berbobot pertanyaanmu. Warna yang kini kau pilih adalah warna hitam dan kelabu. Itu firasat saya tentang warna yang sudah kau pilih sendiri. Saya musti akui. Bahwa untuk pribadi saya, bukan warna hitam. Dan bukan warna kelabu. Tetapi hati saya belum bisa berikan jawaban, warna apa yang menjadi pilihan saya. Dan tentu yang akan tahu tentang warna yang saya pilih adalah orang lain. Bukan diri saya lagi.

Satu yang paling taidak bisa saya lupakan, dan hal itu sudah menjadi motifasi untuk saya dari perkataamu adalah “Meskipun sakit, tetap senyum dimata publik”.  

Moni, saya sangat tidak percaya bila kamu sudah tidak ada. Dan saya juga tidak percaya bahwa bertia kemarin itu mengakhiri perjumpaan kami di planet ini. 

Seandainya saya bisa bertemu kamu di masa mendatang, saya akan menamparmu dan memukulmu hingga aku puas. Tapi semuanya itu tidak. Tidak mungkin terjadi. Waktu berkata lain. Sanga pencipat punya rencana yang lain. Dan itu saya mengerti kawan. Tetapi percayalah, kami akan bertemu kembali. 

Meskipun perjumpaan kita itu lama. Saya selalu merindukan itu. Hati ini sangat sulit untuk berkata iya.
Hati jadi risau tanpa bisingan suaramu tak terdengar di telinga saya ketika saya hendak kembali ke tempat kita dibesarkan. Tempat yang selalu menjadi saksi bisu dibalik setiap cerita yang kami susun bersama di tempat ini. Di jayanti ini. Tempat yang menyimpan sejuta kisah. Itulah jayanti. Itulah tempat kami dibesarkan.

Ah….. saya menyesal. Dan jengkel denganmu. Moni. Mengapa kamu tidak beritahu saya ketika hendak saya pergi dari tempat kita dibesarkan lebih awal dari kamu. Kamu hanya mengatakan, sobat Kapal yang akan balik dari Jayapura itu yang saya akan berangkat dari Nabire ke tempat saya kuliah. Apakah hal itu sudah kau lakukan. Saya tidak tahu. Apakah sudah kau lakukan apa belum. Atau hanya kamu menipu diri saya agar saya tidak tahu jalan yang kamu sudah lalui ini. 

Sungguh teganya kamu tidak beritahukan pada saya tentang hal ini. Saya benar-benar membenci kamu, Moni. Mungkin saya akan bertemu dirimu barulah akan saya ungkapkan semua rasa sedih, marah, benci dan kejengkelan saya pada dirimu, Moni. Tapi kapan kita akan bertemu. Hanya Tuhan yang empunyalah yang tahu rencana ini. 

Kawan, berjuta kisah sudah kita lalui bersama di planet ini. Semua cerita bersamamu itu sudah berakhir saat ini. Hari ini. Jam ini. Menit ini, dan detik ini pula. Semua sudah terhenti. Untuk mengukir cerita bersama kamu. 

Semua cerita itu sudah terukir dalam hati ini. Kamu pun demikian. Dan tentu semua cerita yang kita lalui bersama itu tak akan berakhir sampai disini. Akan saya jalani hidup ini dengan sederhana dan apa adanya dengan harapan bisa meraih harapan untuk masa depan saya. 

Kamu salah. Kamu pembohong. Kamu menipu dirimu. Jika sudah begini. Kapan kamu akan menepati janjimu untuk kembali dan membahagiakan orang tua tercinta. Apakah kamu salah pilih jalan. Atau memang karena Moni, pilih jalan ini agar taka da yang tahu dibalik semau ini. 

Kawan, hati saya tentu akan terus bertanya pada hati dan diri saya. Mengapa kau pergi secepat itu. Mengapa kau pilih jalan pintas ini. Pada hal kita belum melakukan sesuatu yang baik. Sesuatu yang indah denga bijak. Kau siungguh jahat, Moni.

Entalah, hati ini menyimpan sejuta harapan untuk bertemu dirimu lagi kawan. 

Akhirnya saya hanya bisa mengatakan “Rise in peace” untukmu kawanku. 

Dan hanya bisa saya berdoa kepada Tuhan yang selalu memberikan kami hidup, yang selalu memberikan kami nafas. Aga Dia meneriam kamu di tempat yang layak, dan di tempat yang baik pula. Semoga kamu baik-baik disana bersama sang Pencipta.

For my brother, Salju Moni Sani.

Your Brother, Patrick Arnold Belau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....