RIP Sahabatku |
Tak ada yang
bisa menjelaskan alur cerita ini. Kecuali dirimu Moni. Tapi kapan kamu akan
menceritan semuanya itu pada saya. Sedangkan saat saat ini kita sudah berada di
dunia yang berbeda. Kamu di dunia yang saya juga tidak tahu sedangkan saya di
planet yang pernah kita ukir sebuah sejarah. Di planet yang pernah kita
bercanda, tawa dan berguarau bersama. Di palnet yang penuh dengan kejahatan,
penuh dengan persilatan, penuh dengan segala kriminalitas ini.
Saya mengerti
saat ini. Bahwa kau sudah taka ada. Sudah tak mungin lagi untuk bertemu
bertatap muka bahkan bisa bercerita tentang masa depan kita selayaknya seperti
kita masih di Jayanti, Nabire. Tempat ayah dan bunda membesarkan dan melahirkan
kita. Tempat kita menyatu dengan alam dan lingkungan jayanti yang sangat
bersahabat dengan kami. Tempat dimana kita bisa bermain. Disanalah tempat yang
sanagat indah. Di jayanti inilah kita pernah mengukir sebuah alur cerita yang
tak bisa kami lupakan bersama. Di Jayanti ini pula kita pernah merancang sebuah
rencana yang kami rencanakan dengan gaya dan cara kami. Kini engkau pergi. Saya
tak sanggup menjalani hidup ini untuk mencapai dan meraih rencan yang pernah
kita buat itu. Sangat tidak mampu sendiri tanap dirimu, kawanku.
Kau pernah
berkata pada saya. “hidupku bagaikan langkah kakiku yang selalu silih berganti,
kadang di depan dan kadangkala dibelakang pula. Namu semuanya itu kulalui jalan
yang berlika-liku. Hidup penuh dengan warna dan warni. Lalu warna apakah yang
harus aku pilih….??” Saya belum sempat menjawab pertanyaanmu. Sangat berbobot
pertanyaanmu. Warna yang kini kau pilih adalah warna hitam dan kelabu. Itu
firasat saya tentang warna yang sudah kau pilih sendiri. Saya musti akui. Bahwa
untuk pribadi saya, bukan warna hitam. Dan bukan warna kelabu. Tetapi hati saya
belum bisa berikan jawaban, warna apa yang menjadi pilihan saya. Dan tentu yang
akan tahu tentang warna yang saya pilih adalah orang lain. Bukan diri saya
lagi.
Satu yang paling
taidak bisa saya lupakan, dan hal itu sudah menjadi motifasi untuk saya dari
perkataamu adalah “Meskipun sakit, tetap senyum dimata publik”.
Moni, saya
sangat tidak percaya bila kamu sudah tidak ada. Dan saya juga tidak percaya
bahwa bertia kemarin itu mengakhiri perjumpaan kami di planet ini.
Seandainya saya
bisa bertemu kamu di masa mendatang, saya akan menamparmu dan memukulmu hingga
aku puas. Tapi semuanya itu tidak. Tidak mungkin terjadi. Waktu berkata lain.
Sanga pencipat punya rencana yang lain. Dan itu saya mengerti kawan. Tetapi
percayalah, kami akan bertemu kembali.
Meskipun
perjumpaan kita itu lama. Saya selalu merindukan itu. Hati ini sangat sulit
untuk berkata iya.
Hati jadi risau
tanpa bisingan suaramu tak terdengar di telinga saya ketika saya hendak kembali
ke tempat kita dibesarkan. Tempat yang selalu menjadi saksi bisu dibalik setiap
cerita yang kami susun bersama di tempat ini. Di jayanti ini. Tempat yang
menyimpan sejuta kisah. Itulah jayanti. Itulah tempat kami dibesarkan.
Ah….. saya menyesal. Dan jengkel denganmu. Moni. Mengapa kamu tidak beritahu saya ketika hendak saya pergi dari tempat kita dibesarkan lebih awal dari kamu. Kamu hanya mengatakan, sobat Kapal yang akan balik dari Jayapura itu yang saya akan berangkat dari Nabire ke tempat saya kuliah. Apakah hal itu sudah kau lakukan. Saya tidak tahu. Apakah sudah kau lakukan apa belum. Atau hanya kamu menipu diri saya agar saya tidak tahu jalan yang kamu sudah lalui ini.
Sungguh teganya
kamu tidak beritahukan pada saya tentang hal ini. Saya benar-benar membenci
kamu, Moni. Mungkin saya akan bertemu dirimu barulah akan saya ungkapkan semua
rasa sedih, marah, benci dan kejengkelan saya pada dirimu, Moni. Tapi kapan
kita akan bertemu. Hanya Tuhan yang empunyalah yang tahu rencana ini.
Kawan, berjuta
kisah sudah kita lalui bersama di planet ini. Semua cerita bersamamu itu sudah
berakhir saat ini. Hari ini. Jam ini. Menit ini, dan detik ini pula. Semua
sudah terhenti. Untuk mengukir cerita bersama kamu.
Semua cerita itu sudah terukir dalam hati ini.
Kamu pun demikian. Dan tentu semua cerita yang kita lalui bersama itu tak akan
berakhir sampai disini. Akan saya jalani hidup ini dengan sederhana dan apa
adanya dengan harapan bisa meraih harapan untuk masa depan saya.
Kamu salah. Kamu
pembohong. Kamu menipu dirimu. Jika sudah begini. Kapan kamu akan menepati
janjimu untuk kembali dan membahagiakan orang tua tercinta. Apakah kamu salah
pilih jalan. Atau memang karena Moni, pilih jalan ini agar taka da yang tahu
dibalik semau ini.
Kawan, hati saya
tentu akan terus bertanya pada hati dan diri saya. Mengapa kau pergi secepat
itu. Mengapa kau pilih jalan pintas ini. Pada hal kita belum melakukan sesuatu
yang baik. Sesuatu yang indah denga bijak. Kau siungguh jahat, Moni.
Entalah, hati
ini menyimpan sejuta harapan untuk bertemu dirimu lagi kawan.
Akhirnya saya
hanya bisa mengatakan “Rise in peace” untukmu kawanku.
Dan hanya bisa
saya berdoa kepada Tuhan yang selalu memberikan kami hidup, yang selalu
memberikan kami nafas. Aga Dia meneriam kamu di tempat yang layak, dan di
tempat yang baik pula. Semoga kamu baik-baik disana bersama sang Pencipta.
For
my brother, Salju Moni Sani.
Your Brother,
Patrick Arnold Belau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....