“Sebelum aku melanjutkan sedikit cerita tentangmu
dan cerita terakhir bersamamu, izinkankalah saya menyampaikan rasa duka yang
tak terhingga atas kepergianmu. Dan izinkan pula untuk aku sampaikan rasa
terimakasih yang tak terhingga untukmu”
***
Mata hari sudah tak memacarkan sinarnya lagi.
Ia sudah hilang dibelakang gunung. Gunung yang terletak di bagian barat ibukota
kabupaten intan jaya. Hari pun terlihat gelap. Meski tak segelap malam hari. Di
gunung bula terlihat awan yang tebal masih menutupi pepohonan dan ujung dari
gunung itu. Tak satu pun yang bisa dilihat dengan mata telanjangku. Barangkali
untuk orang lain pula pada saat itu.
Hari itu suhu memang sangat
dingin. Dan itu harus saya akui. Ditengah kedinginan itu tetes-tetes air hujan
pun turun tiada henti. Hujan tidak deras. Hanya gerimis. Sempurnalah. Angin
yang bertiup kencang. Suhu yang sangat dingin ditambah lagi dengan hujan gerimis
disore itu. Tubuhku tetap saja merasakan dingin itu. Rumit untuk digambarkan.
Aku melangkah ke Waboagapa.
Jaraknya kira-kira 6 km dari tempatku. Tidak ada angkot. Tidak ada becak. Tidak
ada taksi. Tidak ada ojek. Apalagi kendaraan umum. Maklum daerah yang baru
berkembang semenjak daerah itu dimekarkan menjadi daerah otonom baru.
Niatku ingin ke sana untuk
bertemu dengan Misael Sondegau. Teman kuliah dan teman seasramaku di Jayapura
yang saat itu sedang berlibur bersama keluarganya disana. Niat untuk menemui
misael memaksaku untuk harus pergi kesana.
Aku bertemu dengan Misael di
Yokatapa. Misael mengajakku untuk pergi kerumahnya. Saya mengiyakan dan kami
pun pergi. Kami sudah sampai dirumahnya. Rumah terliahat sepi. Hanya hewan
piaraan yang ada dihalaman rumah. Misael mengajakku membuka sepatu yang aku
pakai. Tidak lama kemudian suara orang terdengar. Suara yang taka asing bagi
aku dan tentu untuk Misael pula. Langsung kutebak. Itu suara ayahmu, Misael.
***
Ingatanku masih segar. Suara
terakhirmu yang kudengar itu masih tersimpan di dalam memory ingatanku. Kapa miee…
(datang kemari) sahutmu dari dalam rumahmu yang tua itu. Barangkali rumah itu
sudah berusia belasan tahun. Material rumah itu sudah menghitam. Hampir tak
kelihatan warna material aslinya. Jelaslah rumah itu sudah tua. Tentu umurnya
pun sudah tua. Bahkan puluhan tahun. Pastinya aku tidak tahu berapa usia rumah
itu.
Suara lantangmu yang taka sing
untukku itu terdengar di telingaku. Aku lebih dulu menghampiri rumah
tradisional itu. Aku melangkah masuk kedalam mendahului Misael, putramu.
Kudapati kau sedang makan. Makan bete.
Bete yang dipanen dari kebunmu. dan tentu kebunmu itu jauh dari rumah. Kau
bersama kekasihmu sedang menyantap makanan yang sudah dimasak oleh kalian
berdua itu. Aku senyum terharu sambil menyapamu. Kekasihmu menyapa aku lebih
dahulu berikutnya kau menyapa aku. Sekilas memandang wajahku, kau sedikit cuek
memandang wajahku.
Kau mungkin sempat mencari aku.
Siapa saya sebenarnya. Tetapi kekasihmu yang selalu dan setia menemani
sepanjang hidupmu memberitahukanmu bahwa aku adalah anak dari almarhum ayahku
yang juga adalah teman dekatmu.
Mendengar itu kau memandang
kembali wajahku. Aku hanya tersenyum melihat aksimu itu. Kau dan kakasihmu itu
memang orang baik. Sedikit iri aku pada kalian berdua. Iri gaya bercanda kalian
berdua. Terfikir aku. Ternyata mereka berdua benar-benar saling menyayangi dan
membina keluarga kalian dengan penuh kasih sayang.
Tak banyak bicara. Kau hanya
kagum ketika memandangku. Dan terus memandangku sambil menikmati bete bakar.
Kau beri aku sebagian bete yang
sudah kau belah. Saat ini aku benar-benar sadar bahwa itu makanan terakhir yang
kau berikan padaku. Aku pun dengan senang hati menerima bete dari tanganmu dan
menghabiskannya sambil bercerita dan bercanda bersama di rumah tua yang dulu
kau buat itu.
Hari terakhir bersamamu itu
takkan kulupakan. Akan slealu membekas dihatiku.
Kini giliranku untuk mengucapkan
berlimpah terimakasih kepadamu. Kau pewarta tua. Kau pekabar injil. KiniAllah
bapamu, Allahku dan Allah kita memanggilmu. Tak ada yang bisa membatalkan
rencana Yang Maha kuasa. Itu lah yang memang terjadi dan mau tidak mau harus
diterima walau hati tak rela.
Kini engkau di planet lain. Aku
hanya memanjatkan doa kepada Yang Maha kuasa agar enkau diterima-Nya di tempat
yang baik bersamanya.
Jasa-jasamu sebagai pewarta injil
akan tetap dikenang oleh umat yang pernah kau ajarkan kabar terang. Kabar
keselamatan. Kabar kebenaran. Yaitu ajaran Kristus.
Terimakasih bapak Rafael
sondegau. Beristirahatlah dengan tenang. Semoga arwahmu diterima oleh-Nya. Dan keluarga yang ditinggalkannya diberikan
penghiburan yang berlimpah.
RIP. Amakanee Aita. Rafael Sondegau.
Arnold Belau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....