Jumat, 12 Oktober 2012

RIP Untukmu Pewarta Tua


“Sebelum aku melanjutkan sedikit cerita tentangmu dan cerita terakhir bersamamu, izinkankalah saya menyampaikan rasa duka yang tak terhingga atas kepergianmu. Dan izinkan pula untuk aku sampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga untukmu


***


Angin kencang masih menerpa tubuhku. Dingin pun tak amau kalah dengan agin. Udara yang sangat dingin terasa di tubuhku. Tubuhku tetap saja merasakan angin yang terus menerpa tubuhku. Walau tubuhku sudah kulapis dengan jacket yang tebal dan celana panjang serta kakiku ke kenakan sepatu lumpur yang besar. Sepatu itu tingganya sebatas lututku. Walau demikian dingin tetap saja kurasakan.

Mata hari sudah tak memacarkan sinarnya lagi. Ia sudah hilang dibelakang gunung. Gunung yang terletak di bagian barat ibukota kabupaten intan jaya. Hari pun terlihat gelap. Meski tak segelap malam hari. Di gunung bula terlihat awan yang tebal masih menutupi pepohonan dan ujung dari gunung itu. Tak satu pun yang bisa dilihat dengan mata telanjangku. Barangkali untuk orang lain pula pada saat itu.

Hari itu suhu memang sangat dingin. Dan itu harus saya akui. Ditengah kedinginan itu tetes-tetes air hujan pun turun tiada henti. Hujan tidak deras. Hanya gerimis. Sempurnalah. Angin yang bertiup kencang. Suhu yang sangat dingin ditambah lagi dengan hujan gerimis disore itu. Tubuhku tetap saja merasakan dingin itu. Rumit untuk digambarkan.

Aku melangkah ke Waboagapa. Jaraknya kira-kira 6 km dari tempatku. Tidak ada angkot. Tidak ada becak. Tidak ada taksi. Tidak ada ojek. Apalagi kendaraan umum. Maklum daerah yang baru berkembang semenjak daerah itu dimekarkan menjadi daerah otonom baru.

Niatku ingin ke sana untuk bertemu dengan Misael Sondegau. Teman kuliah dan teman seasramaku di Jayapura yang saat itu sedang berlibur bersama keluarganya disana. Niat untuk menemui misael memaksaku untuk harus pergi kesana.

Aku bertemu dengan Misael di Yokatapa. Misael mengajakku untuk pergi kerumahnya. Saya mengiyakan dan kami pun pergi. Kami sudah sampai dirumahnya. Rumah terliahat sepi. Hanya hewan piaraan yang ada dihalaman rumah. Misael mengajakku membuka sepatu yang aku pakai. Tidak lama kemudian suara orang terdengar. Suara yang taka asing bagi aku dan tentu untuk Misael pula. Langsung kutebak. Itu suara ayahmu, Misael.


***

Ingatanku masih segar. Suara terakhirmu yang kudengar itu masih tersimpan di dalam memory ingatanku. Kapa miee… (datang kemari) sahutmu dari dalam rumahmu yang tua itu. Barangkali rumah itu sudah berusia belasan tahun. Material rumah itu sudah menghitam. Hampir tak kelihatan warna material aslinya. Jelaslah rumah itu sudah tua. Tentu umurnya pun sudah tua. Bahkan puluhan tahun. Pastinya aku tidak tahu berapa usia rumah itu.

Suara lantangmu yang taka sing untukku itu terdengar di telingaku. Aku lebih dulu menghampiri rumah tradisional itu. Aku melangkah masuk kedalam mendahului Misael, putramu.

Kudapati kau sedang makan. Makan bete. Bete yang dipanen dari kebunmu. dan tentu kebunmu itu jauh dari rumah. Kau bersama kekasihmu sedang menyantap makanan yang sudah dimasak oleh kalian berdua itu. Aku senyum terharu sambil menyapamu. Kekasihmu menyapa aku lebih dahulu berikutnya kau menyapa aku. Sekilas memandang wajahku, kau sedikit cuek memandang wajahku. 

Kau mungkin sempat mencari aku. Siapa saya sebenarnya. Tetapi kekasihmu yang selalu dan setia menemani sepanjang hidupmu memberitahukanmu bahwa aku adalah anak dari almarhum ayahku yang juga adalah teman dekatmu.

Mendengar itu kau memandang kembali wajahku. Aku hanya tersenyum melihat aksimu itu. Kau dan kakasihmu itu memang orang baik. Sedikit iri aku pada kalian berdua. Iri gaya bercanda kalian berdua. Terfikir aku. Ternyata mereka berdua benar-benar saling menyayangi dan membina keluarga kalian dengan penuh kasih sayang.

Tak banyak bicara. Kau hanya kagum ketika memandangku. Dan terus memandangku sambil menikmati bete bakar.

Kau beri aku sebagian bete yang sudah kau belah. Saat ini aku benar-benar sadar bahwa itu makanan terakhir yang kau berikan padaku. Aku pun dengan senang hati menerima bete dari tanganmu dan menghabiskannya sambil bercerita dan bercanda bersama di rumah tua yang dulu kau buat itu.
Hari terakhir bersamamu itu takkan kulupakan. Akan slealu membekas dihatiku.

Kini giliranku untuk mengucapkan berlimpah terimakasih kepadamu. Kau pewarta tua. Kau pekabar injil. KiniAllah bapamu, Allahku dan Allah kita memanggilmu. Tak ada yang bisa membatalkan rencana Yang Maha kuasa. Itu lah yang memang terjadi dan mau tidak mau harus diterima walau hati tak rela.

Kini engkau di planet lain. Aku hanya memanjatkan doa kepada Yang Maha kuasa agar enkau diterima-Nya di tempat yang baik bersamanya.

Jasa-jasamu sebagai pewarta injil akan tetap dikenang oleh umat yang pernah kau ajarkan kabar terang. Kabar keselamatan. Kabar kebenaran. Yaitu ajaran Kristus.

Terimakasih bapak Rafael sondegau. Beristirahatlah dengan tenang. Semoga arwahmu diterima oleh-Nya.  Dan keluarga yang ditinggalkannya diberikan penghiburan yang berlimpah.

RIP. Amakanee Aita. Rafael Sondegau.

Arnold Belau


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....