Garda Papua |
“Otonomi Khusus (OTSUS) Kacau Balau”….Itulah
ungkapan yang dikeluarkan Oleh Gubernur Barnabas Suebu pasca menduduki Tahta
Pemerintahan Propinsi Papua. Itu artinya selama masa kekuasaan Gubernur
sebelumnya (Almarhum J.P Salossa) tidak mampu merumuskan strategi penerapan
Otonomi khusus yang diberikan sebagai jalan tengah meredam Aspirasi Merdeka
yang diinginkan oleh seluruh rakyat Papua. Perdebatan tentang Otsus sampai saat
ini masih terjadi misalnya pada tahun 2005 dengan ribuan kekuatan Rakyat
bersama Dewan Adat Papua mengembalikan Otsus dan menuntut Referendum.
Bahkan di
bulan Juli 2010, musyawarah besar rakyat di Majelis Rakyat Papua menyatakan
dengan tegas, bahwa OTSUS gagal total karena tidak mampu menjawab tingkat
kesejahteraan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur,
tidak adanya aturan-aturan hukum daerah ( Peraturan Daerah Khusus), tidak
berfungsinya 4 pilar OTSUS (Majelis Rakyat Papua, komisi hukum Ad Hoc, Komisi
Kebenaran dan Rekonsliasi, Kantor perwakilan Komisi Hak Asasi Manusia, sehingga
hasil Mubes Rakyat Papua mengeluarkan 11 rekomendasi tuntutan Rakyat Papua
diantaranya; Undang-undang otonomi Khusus No. 21/2001 dikembalikan kepada
Pemerintah NKRI; Segera dilakukan dialog antara Bangsa Papua dengan Pemerintah
NKRI yang dimediasi pihak Internasional yang netral; Segera lakukan referendum
bagi penentuan nasib Rakyat Papua; Pemerintah NKRI mengakui dan kembalikan
kedaulatan Rakyat-Bangsa Papua sesuai proklamasi 1 Desember 1961; Mendesak
dunia Internasional untuk berlakukan embargo dalam pelaksanaan OTSUS; OTSUS
tidak perlu direvisi seperti yang dimaksudkan Undang undang No. 35 Tahun 2008
tentang perubahan undang undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua;
Seluruh proses Pemilukada Kabupaten/kota se-Papua dihentikan; Para gubernur,
DPRP dan DPRD Papua Barat, para Bupati, Wali Kota, dan DPRD kabupaten/kota
se-Tanah Papua, segera hentikan penyaluran dana bagi penyelenggaraan Pilkada;
Pemerintah NKRI di pusat dan daerah, segera hentikan program transmigrasi dan
perketat pengawasan terhadap arus migrasi ke Tanah Papua; Segera membebaskan
seluruh Tapol/Napol Papua tanpa syarat; Segera Lakukan Demiliterisasi di Tanah
Papua; dan Segera tutup P.T Freeport. Hal ini membuktikan bahwa masa kekuasaan
Almarhum Jap. Salosa maupun Barnabas Suebu tidak mampu menerapkan dan
menjalankan OTSUS yang menurut Jakarta mampu memberikan kesejahteraan bagi
seluruh Rakyat Papua.
***Ingatan Rakyat Papua Terhadap Sejarah Peradaban dan
Perjuangan***
Dahulu Papua merupakan daerah yang tidak tersentuh dari
kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia, aktivitas kehidupan setiap suku-suku
tetap berjalan dari tahun ke tahun dengan perkembangan peradabannya. Sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang Majapahit, Cina, Gujarat dan
India lebih dulu singgah di Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua
adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh Spanyol, Inggris, dan
Belanda. Ada perubahan yang cepat ketika mulai tersentuh dengan bangsa lain
seperti , Portugis, Spanyol, Inggris dan melalui Misionaris dari Jerman Ottow
dan Geisler di tahun 1855 memasuki wilayah perairan Teluk Cenderawasih tepatnya
di pulau Mansinam Manokwari. Di wilayah selatan menurut peneliti berkebangsaan
Inggris, Thomas W. Arnold, agama Islam sudah ada pada abad XVI melalui
kesultanan Bacan sekitar tahun 1520 an. Menurut DR. FC. Kamma wilayah daerah
Teluk Cenderawasih merupakan daerah pertukaran/barter kebutuhan-kebutuhan
ekonomi, bahkan sebelum Ottow dan Geisler memasuki wilayah itu di tahun 1814
Sultan Dayghton dari Celebes (Makassar) sudah terlebih dahulu menjajaki daerah
tersebut. Pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda mengumumkan kekuasaannya
atas daerah Papua Barat dan meresmikan benteng Du Bus di kampung Lobo, Teluk
Triton (Kaimana-Fakfak) sebagai symbol kekuasaan atas pulau Papua atau Nieuw
Guinea. Selanjutnya pos-pos pemerintah Belanda didirikan di Manokwari dan
Fak-fak pada tahun 1898 dan Merauke pada tahun 1910-setelah muncul sengketa
dengan Inggris, Merauke merupakan daerah perbatasan dengan wilayah kekuasaan Inggris
( PNG)-, tahun 1904 diteluk Humboldt dibangun juga pos pemerintahan tepatnya di
perkampungan yang dinamakan Hollandia, yang sekarang di kenal dengan Jayapura.
***Kepentingan Ekonomi Internasional Di Papua***
Pada awal abad 1900-an,
Belanda mulai membuka perkebunan-perkebunan, Tahun 1935, perusahaan-perusahaan
besar Belanda dan Inggris menggabungkan modal mereka dan mendirikan Perusahaan
Nederlandsch Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM) bertujuan untuk
melakukan eksplorasi untuk mencari sumber-sumber minyak dan kandungan mineral
di wilayah Papua – sebelumnya (tahun 1907) perusahaan pertambangan minyak Royal
Duutch Shell telah di bentuk namun tidak maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta
besar yang menanamkan modal dalam NNGPM adalah Bataafsche Pasific Petroleum
Maatschappij, Standard vacuum Oil Company, dan Nederlandsche Pasific Proteleum
Maatschappij, dengan masing-masing memiliki saham 40%. Dari pemerintah Belanda,
NNGPM memperoleh hak atas daerah konsensi seluas 10.0000.000 hektar, yakni seluruh
daerah kepala burung atau 1/3 daerah Papua. Ini sebagai konsensi pemerintah
Belanda terhadap perusahaan swasta. NNGPM mendirikan pangkalan-pangkalan
pesawat terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan Ayamaru, guna
kepentingan meneliti potensi lainnya dari udara. Hasil penelitian
memperlihatkan adanya sumber-sumber minyak dan sumber mineral lain, sehingga
tahun 1935 mulai diadakan penggalian percobaan di daerah pedalaman kepala
burung (Sorong dan Teluk Bintuni). Dari hasil perkembangan industri minyak yang
semakin luas tersebut, dapat membiayai penelitian ilmiah dan mendatangkan para
ilmuwan dari luar yaitu ahli zoology, botani, kehutanan, geologi, geografi dan
antropologi untuk mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari potensi mineral.
Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut yakni dengan melakukan pendakian ke
gunung Cartenz dan Eksberg, yang sekarang menjadi tempat beroperasinya
pengembangan tembaga berskala besar (P.T Freeport), eksplorasi ini juga
sekaligus mengembangkan peta Papua. Namun semua usaha perekomomian terhenti
karena perang Pasifik, mengakibatkan perkembangan modal di Papua pun jadi
terhambat. Sejak kepergian Belanda dari Papua pada tahun 1962 dan masuknya
Indonesia pada Mei 1963 tidak banyak perubahan yang terjadi. Pemerintah Indonesia
hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Belanda, yaitu mengatur
administrasi pemerintahannya di Papua, membangun sekolah-sekolah yang sebagian
besar hanya mampu diisi oleh penduduk pendatang yang tinggal di Papua, dan
kesehatan yaitu mengambil alih tugas-tugas pengelolaan rumah sakit dan
puskesmas peninggalan Belanda. Pada waktu itu semua pegawai pemerintahan
diganti dengan orang-orang Indonesia. Arus migran dari Indonesia pun makin
kencang, baik yang didatangkan atas rencana pemerintah maupun sebagai migran
spontan. Selain sebagai pegawai pemerintah mereka juga berprofesi sebagi
pedagang dan petani, yang lebih maju dari masyarakat Papua.
***Kebijakan
Pemerintah Indonesia Terhadap Papua***
Di masa pemerintahan Soekarno,
kepentingan modal internasional sangat terganggu dengan menguatnya Partai
Komunis Indonesia,. Situasi ini menjadi penghalang bagi masuknya modal di
Indonesia, maka tidak ada jalan lain kecuali kekuatan penghalang itu harus di
hancurkan, maka dicarilah sekutu sekaligus agen yang akan melaksanakan tugasnya
tersebut, dipilihlah militer sebagai sekutu dan agennya. Terjadilah pergantian
kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965, naiklah sang diktaktor Soeharto
mewakili kekuatan militer yang menjadi agen dari modal Internasioanal. Setelah
tumbangnya Sukarno, babak baru eksploitasi dan membuat kesepakatan untuk
perputaran modal internasional maka dengan kekuatan militer me-represif dan
memanipulasi PEPERA Tahun 1969. Perlahan dibawah Orde Baru (Orba), Indonesia
memasuki era keterbukaan terhadap modal Internasional. UU Penanaman Modal Asing
(PMA) dengan mudah diundangkan oleh Soeharto pada tahun 1967. Mulailah aliran
dana luar negeri diinvestasikan di Papua. PT.Freeport berdiri, mengeruk
kekayaan alam Papua, dan berbagai macam perusahaan nasional maupun asing
lainnya. Juga lembaga-lembaga Internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) yang
dikendalikan para pemilik modal besar Amerika Serikat dan sekutunya mulai
mengatur ekonomi Indonesia dalam sebuah kerangka ekonomi liberal
“pembangunanisme”. Papua memasuki era baru, neo-kolonialisme ( Penjajahan baru
di bidang ekonomi ) dengan kepanjangan tangannya Orde baru. Bersama kekuatan
militer, Orde Baru mengambil alih semua perusahaan-perusahaan asing di Papua ke
tangan militer dan pengusaha-pengusaha dari birokrasi. – hak erfpacht (Guna
Usaha) perusahaan dialihkan ke militer, perkebunan milik negara, militer, dan
swasta di kontrol oleh jaringan keluarga Soeharto. Sekarang Papua telah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari sistem perekonomian modal internasional yang
diorientasikan pada ekspor sehingga bergantung pada bidang ekstraktif dan
pertanian.
***Reformasi Tahun 1998 dan Jalan Tengah OTSUS***
Rezim Suharto –
Habibie (1997 – 1998) memang terkenal otoriter dan diwarnai dengan sistem
kekeluargaan yang kental, hal ini menghambat akumulasi (perputaran) modal dan
investasi asing. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya kepentingan modal
internasional tidak terlalu peduli dengan sistem pemerintahan yang otoriter
atau sebanyak apa rakyat Indonesia dibantai pada masa itu, karena yang lebih
penting bagi pihak internasional adalah terciptanya kondisi yang stabil dan
aman bagi uang atau investasi modal dengan hasil yang memuaskan bagi mereka.
Pada masa rezim ini, tak ada satu tokoh politikpun yang berani melawan Suharto
karena kuatnya struktur penindasan Suharto lewat Golkar dan Dwi Fungsi ABRI.
Pemerintahan yang korup, tingginya tingkat inflasi, bangkrutnya sektor riil
akibat krisis ekonomi, dan kekerasan negara memunculkan gelombang perlawanan
rakyat yang kemudian berkembang menjadi lebih politis dan meluas dengan
melibatkan mahasiswa. Gerakan tersebut berhasil menumbangkan Suharto yang
berkuasa hampir 32 tahun lamanya. Hal tersebut kemudian memaksa Suharto
meletakkan jabatannya dan menyerahkan kursi Kepresidenan kepada wakilnya B. J
Habibie pada bulan Mei 1998. Ditengah kuatnya kekuatan modal internasional,
maka pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melakukan Liberalisasi (
perdagangan bebas) terhadap sektor ekonomi dimana kekuasaan ekonomi tidak lagi
berada ditangan Suharto dan kroninya tetapi harus bebas kepada semua kekuatan
elit-elit pemilik modal nasional. Pada masa-masa awal reformasi tersebut,
partisipasi politik rakyat sangat tinggi dan banyak organsisasi yang muncul
bagai jamur dimusim hujan serta banyak demonstrasi yang dilakukan dengan
tuntutan yang berbeda-beda. Sesuai dengan tututan kepentingan modal
internasional, maka wacana Otonomi Daerah mulai di bahas seiring dengan
ketidakpuasan beberapa daerah di Indonesia dan ancaman 3 daerah (Aceh,
Timor-Timur, dan Irian Jaya) untuk melepaskan diri dari NKRI. Hal tersebut
mengharuskan Habibie membuat regulasi tentang Otonomi Daerah lewat UU No
22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada masa inilah, Habibie kemudian
menawarkan opsi Otonomi Khusus atau Referendum bagi Timor-Timur. Sedangkan
untuk Irian Jaya, Habibie dan DPR RI menetapkan UU No 45/1999 tentang Pemekaran
Wilayah Irian Jaya yaitu propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah,
Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian
dikuatkan lagi dengan penunjukan pejabat Gubernur yaitu Herman Monim (Irja
Tengah), dan Abraham O. Atururi sebagai Gubernur Irjabar lewat Kepres RI No
327/M/1999 tertanggal 5 Oktober 1999. Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1999,
Sidang Umum MPR RI mengeluarkan ketetapan MPR RI No IV/MPR/1999 untuk mendukung
penetapan pemberlakuan Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI yang diikuti dengan
langkah-langkah strategis yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui
proses pengadilan yang adil dan jujur. Setelah turunnya Habibie dari tampuk
pemerintahan, ia digantikan oleh rezim yang terdiri dari para tokoh Cianjur
yaitu Gus Dur – Mega (2000 – 2001). Mengikuti langkah pemimpin terdahulu
(Habibie), Gus Dur yang juga salah satu tokoh reformasi melakukan perbaikan
dengan mengeluarkan kebijakan yang memberi ruang pada terciptanya sistem
pemerintahan yang demokratis dan memihak rakyat namun tetap melaksanakan agenda
Liberalisasi ekonomi. Namun usaha perbaikan kearah lebih demokratis tersebut
mendapat tantangan disebabkan terjadinya perpecahan diantara para tokoh
reformasi tersebut melawan kekuatan lama yang membacking Suharto yaitu Golkar
dan ABRI. Pada masa Gus Dur, wacana Otonomi Khusus tersebut mulai digarap lebih
serius bersama Pemerintah Irian Jaya. Salah satunya adalah mengubah nama Irian
Jaya menjadi Papua, selain itu mendorong pembuatan draf Undang-Undang Otonomi
Khusus yang melibatkan kalangan akademisi Universitas Cenderawasih dan
Universitas Papua serta penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat Papua. Usaha
dan niat baik Gus Dur dan unsur-unsur demokratik itu mendapat tantangan yang
kuat. Gus Dur mulai dituduh sehubungan dengan Dana Bantuan Sultan Brunei, kasus
Bulog, dan kasus separatisme (terselenggaranya Kongres Rakyat Papua II).
Hambatan-hambatan tersebut memuncak dengan dilakukannya Sidang Istimewah MPR
pada tanggal 23 Juli 2001 yang kemudian memutuskan untuk menurunkan Gus Dur
dari kursi kepresidenan dan menggantikannya dengan wakilnya saat itu, Megawati
Sukarno Putri. Turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan menunjukkan kekalahan
unsur-unsur demokratik dan kemenangan dipihak unsur ultranasionalis yang
diwakili oleh Megawati, dan PDI-P, serta poros tengah Amien Rais dan
partai-partai pendukungnya. Rezim Megawati yang dikenal dengan Mega – Haz
memang agak berbeda wataknya karena lebih bersifat ultranasionalis (sangat
nasionalis). Komposisi rezim Mega – Haz merupakan komposisi pemerintahan yang
baik sekali bagi kekuatan pendukung Suharto yaitu TNI/POLRI dan Golkar. Wacana
dan draft RUU Otonomi Daerah yang digarap oleh Pemda Papua dan Akademisi
Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua tersebut kemudian disahkan oleh
DPR RI menjadi UU Otsus Papua yang telah diedit dan dimodifikasi sesuai
keinginan Pemerintah pada tanggal 22 Oktober 2001. Sikap setengah hati dari
Megawati ditunjukan dengan dikeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) no. 1/2003
untuk percepatan Implementasi UU no. 45/ 1999 tetang Pemekaran Papua menjadi
Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya
dan pembentukan kota sorong. Inpres tersebut sangat bertentangan UU.No.21/2001
tentang OTSUS yang telah di undangkan. Dimasa Rezim Susilo Bambang
Yudhoyono-Yusup Kalla, sistem pemilihan secara langsung oleh seluruh rakyat
Indonesia. Hal ini menunjukkan ada ruang demokrasi yang melibatkan rakyat di
dalam perpolitikan nasional. Rakyat Indonesia membutuhkan perubahan mendasar
pada kehidupan bangsa yang lebih baik dari pemimpin-pemimpin rezim sebelumnya.
Kemenangan SBY-JK melalui partai Demokrat ini menunjukkan bahwa rakyat sudah
jenuh dan protes kepada partai berkuasa sebelumnya yakni PDI-P dan GOLKAR Namun
Rakyat Indonesia mulai hilang harapan, karena pemerintah SBY-Kalla masih
menerapkan system ekonomi yang sama dengan pemerintahan sebelumnya antara lain
membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan pesananan modal internasional,
sehingga aturan-aturan hukum-hukum yang menjadi dasar pelaksanaan kebikajakan
baik pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat masih berpihak kepada modal
internasional. Untuk masalah Papua SBY-JK berkomitmen dalam programnya untuk
melaksanankan UU No. 21/2001 secara utuh dan konsekuen, sehingga mengeluarkan
keputusan pemerintah No.54/2004 tentang MRP. Aturan ini mengatur secara khusus
tentang prosedur pemilihan dan komposisi anggota MRP. Namun dalam pelaksanaanya
MRP tidak mempunyai fungsi yang jelas untuk mengontrol kebijakan bagi
kepentingan masyarakat adat, perempuan dan agama. MRP hanya di jadikan simbol
untuk memenuhi amanat UU. Otsus no.21 tahun 2001 dan meredam tuntutan rakyat
Papua yang semakin tidak percaya dengan keberadaan OTSUS . SBY justru membuat
kebijakan-kebijakan yang sangat kontaproduktif dengan mengembangkan berbagai
pemekaran di kabupaten-kabupaten baru tanpa melalui mekanisme MRP dan DPRP yang
jelas melanggar dan bertentangan dengan UU OTSUS. Keluarnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) no. 1/2008 tentang perubahan UU.
No.21 tahun 2001 yang kemudian diterapkan menjadi UU. No. 35/2008 untuk
mengakomodir Propinsi illegal, Irian Jaya Barat menjadi Papua Barat dan Irian
Jaya menjadi Papua tanpa melewati mekanisme MRP dan DPRP tetapi melalui
keputusan sepihak pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia . Hal
ini membuktikan SBY sangat tidak serius dan kebijakan yang dibuat sangat
politis untuk memikikan integritas NKRI sehingga kesejahteraan rakyat yang
terakomodir dalam UU.21/2001 di khianati. Saat ini muncul wacana dan perdebatan
terhadap pembentukan MRP Papua Barat, DPR Papua Barat, dan legitimasi peraturan
daerah khusus yang berlaku untuk 2 propinsi tersebut.
***Ingatan Sejarah
Melandasi Semua Perlawanan Rakyat Papua***
“Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai sejarahnya, dan jangan sekali-kali melupakan sejarah” itulah
beberapa pernyataan Soekarno untuk menghargai proses perjuangan menuju
cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia . Proses Sejarah peradaban dan
perjuangan diatas menegaskan dan meyakinkan tentang apa menjadi dasar
kekuatan-kekuatan perlawanan rakyat Papua terhadap setiap rezim Pemerintah NKRI.
Perjuangan Papua sampai saat ini membuktikan komitmen rakyat untuk mengawal
bahkan menolak dengan tegas setiap aturan-aturan hukum Pemerintah Pusat yang
sangat tidak memihak dan mematikan perkembangan manusia Papua. Otonomi Khusus
yang diberikan kepada rakyat Papua bukan karena niat baik pemerintah tetapi
karena ada gerakan perlawanan secara terus menerus yang dilakukan oleh rakyat
dengan taruhan nyawa . Ada penilaian positif Rakyat Papua terhadap Bangsa
Belanda, karena mereka mampu meningkatkan sumber daya manusia (tenaga
produktif), baik pendidikan, kesehatan, peningkatan taraf hidup, infrastruktur,
dan membentuk nasionalisme Papua. Namun ketika tahun 1969 PEPERA dilaksanakan
dengan manipulasi dan kekerasan militer mengakibatkan trauma dan semakin hilang
rasa kepercayaan rakyat Papua. Pembantaian, pembunuhan kilat, penghilangan
nyawa secara paksa dan penculikan merupakan kebijakan yang sampai saat ini
masih dipakai Pemerintah NKRI untuk meredam suara-suara kritis untuk menuntut
keadilan. Hal ini terjadi dalam setiap peristiwa pelanggaran HAM (tahun
1963-tahun 2010 ) tidak ada satupun yang diselesaikan, sistem ekonomi dikuasai
oleh para pendatang, pendidikan yang tidak menghargai kebudayaan asli Papua,
kesehatan yang jauh dari teknologi, angka kematian yang tinggi, tersingkirnya
Masyarakat Adat, dan pembiaran kepentingan investasi terhadap sumber daya alam
secara legal maupun illegal. Keberhasilan pembangunan yang selama ini
dikampanyekan oleh Pemerintah Pusat ternyata cuma dirasakan para birokrasi
pemerintah Provinsi, Kabupaten, Distrik dan Kampung, para elit birokrasi Papua
semakin lupa diri dan berfoya-foya dengan uang yang bertrilyun-trilyun tanpa
mengevaluasi kegagalan-kegagalan kebijakan yang memarginalnya masyarakat Papua
secara sistematis. Semua ini merupakan bentuk pejajahan yang sistematis dari
pemerintah NKRI sehingga solusi untuk menyelesaikan persoalan diatas adalah
Persatuan gerakan untuk memajukan potensi perlawanan. Seluruh kelompok gerakan
perjuangan baik faksi-faksi, organisasi pemuda sudah saatnya untuk memikirkan
dan membentuk pemerintahan oposisi/komposisi nasional/dewan
nasional/pemerintahan persatuan/pemerintahan transisi ataupun apapun namanya
untuk menyatukan konsep gerakan dalam satu wadah yang solid dan memiliki
mekanisme kerja yang jelas serta melakukan kerja-kerja yang terstruktur di
basis Masyarakat Adat sehingga menemukan budaya perlawanan yang baru yaitu
perlawanan rakyat yang sesuai dengan kondisi masyarakat Adat Papua (Nasta).
oleh : Oleh : Manyouri
Sumber : www.gardap.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....