Di belahan dunia mana saja, kapitalisme atau
investasi atau orang yang mempunyai Modal atau
“Sekelompok Orang yang mempunyai banyak Uang”, yang mengontrol
Dunia atau dunia berada digenggaman tangan mereka, artinya orang-orang yang
mempunyai banyak uang ini, akan menyalurkan Uang kepada negera-negara yang
mengandung Kekayaan Alam. Seperti Presiden Indonesia SBY atas kekayaan Alam
Papua.
Apapun yang diminta oleh prisiden SBY akan diberikan
oleh orang-orang yang mempunyai banyak uang ini. Orang-orang pemodal atau
kapitalisme ini juga yang mengontrol PBB dan Amerika Serikat agar PBB dan
Amerika Serikat melindungi dan mengamankan kebun raksasa di Tanah Amungsa
Mimika, yaitu PT. Freeport sehingga apaun yang diminta oleh PBB dan Amerika
Serikat menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan oleh Mofet dan kawan-kawannya
guna mengamankan Kebun atau Perusahan Raksasa di Timika. Hal yang sama juga
akan dilakukan di Intan Jaya.
Kapitalisme/ Investasi atau orang yang mempunyai
banyak uang ini mereka sudah mengetahui kekayaan alam di suatu daerah atau
wilayah, seperti di wilayah Indonesia dan khususnya di papua. Cara pertama yang
akan dipakai kapitalisme adalah bagimana membangun hubungan kerja sama antara
kedua negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia.
Apapun (Uang)
yang diminta oleh presiden Indonesia akan ditepati oleh Kapitalisme
itu dan hal itu merupakan hal yang mutlak dilakaukan oleh Kapitalisme/
Investor dalam rangka mengamankan Tambang Emas, Minyak, maupun yang lain-lain
di suatu daerah, seperti Tambang Emas di Intan Jaya.
Kapitalisme akan menyiapkan dan menyerakan “Uang
kepada Presiden Indonesia. Selanjutnya Presiden Indonesia akan menyiapkan “Uang, Aturan serta menurunkan Perintah
kepada Gubernur” di suatu daerah yang memiliki sumber daya Alam. Seperti
Gubernur Barnabas Suebu, atas kekayaan alam Intan Jaya. Selanjutnya Gubernur
akan “Melanjutkan Uang dan Aturan” ke
Bupati, seperti Bupati Kabupaten Intan
Jaya. Selanjutnya, Uang dan aturan itu
akan terkandas di kabupaten. Bupati hanya
melanjutkan Perintah ke Lembaga Swadaya Masyarakat
(Gereja), Dewan Adat, Kepala Suku, Pemilik Hak Ulayat maupun orang-orang yang
berkuasa di wilayah Penambangan itu”.
Hal ini akan dilakukan secara
rapih dan sistematis untuk mempengaruhi dan memanfaatkan keterbatasan
pengetahuan masyarakat setempar ( Seperti Masyarakat Intan Jaya ).
Orang-orang yang berada di kabupaten Intan Jaya akan main secara rapi, halus dan pelan,
seperti memberi Uang dalam jumlah Yang sangat kecil kepada salah satu tokoh
masyarakat pemilik ulayat (Aita Kigi Ka
Taguya Elaee), membeli minyak goreng, garam, peksin dan lain-lain guna
mempengaruhi dan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat pemilik hak
ulayat, agar masyarakat pemilik ulayat menyetujui permintaan pemerintah daerah
setempat dan Investor.
Ingat hal ini selalu terjadi di mana-mana, guna
merampas, menguras dan membunuh masyarakat setempat secara Sistematis dan
Otomatis. Sehingga “Masyarakat Setempat
pun Tidak pernah Sadar “ Akan Ular Beludak lidah dua yang selalu datang
menipu masyarakat setempat. Pada tahap
tertentu, keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat selalu dimanfaatkan oleh
orang-orang yang menganggap diri mereka manusia dan Manusia yang lain bukan manusia. Sebab orang/kelompok
tersebut menjual dan mengorbankan sesama
manusia dengan cara memasukkan perusahan di wilayah tersebut, tanpa
memperhatikan dampak (Limbah) yang akan dibuang ke muara sungai Kemabu, Wabu,
Dogabu dan Mbiabu maupun sungai-sungai lain di Intan Jaya.
Orang/kelompok yang “memasukan dan menerima perusahan Tambang di Intan Jaya“ menganggap dirinya manusia dan manusia
lain, yang menghuni di pinggiran sungai-sungai di Intan Jaya bukan manusi yang
menyerupai TUHAN YESUS, karena
orang/kelompok tersebut hanya mencari
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, tanpa memperhatikan dan
mempertimbangkan bahaya limba dan bahaya Investasi yang akan menguasai tanah,
hutan maupun alam Intan Jaya.
Kita musti mengerti dan menyadari bahwa Negara
Amerika serikat maupun negara-negara neo-kolonial lainya masuk, terutama melalui pintu agama dan pendekatan budaya
lalu menyebarkan agama disuatu daerah atau wilayah lalu meneliti alam di
sekitarnya terutama yang diteliti adalah budaya setempat, setelah orang yang
membawa agama itu mengetahui “budaya dan
kekayaan alam” setempat seperti Emas, Tambang atau sejenisnya, maka orang
yang tadinya membawa agama itu akan melobi para Kapitalisme atau kaum pemodal
untuk mendatangkan dan memasukan
perusahan dengan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat pribumi. Negara Amerika Sebagai negara yang memegang teguh slogan “Blok barat atau Kapitalisme” yang jelas dia akan menanamkan
modalnya di daerah atau wilayah yang dikuasainya tanpa peduli terhadap
masyarakat setempat.
“Sadarlah dan ketahuilah Bahwa: Perusahan
Tambang Emas yang masuk di Timika dan yang masuk di Intan Jaya dan sedang
Operasi Eksplorasi di Intan Jaya, maupun perusahaan- Perusahan lain yang masuk
di dibeberapa daerah di papua, bahkan
Dunia Tidak Butuh Manusia atau Masyarakat Di sekitarnya. Catat dan Ingat kalimat ini baik- baik”. Yang
dibutuhkan kapitalisme/Investor hanyalah
mencuri, merampas, menggarap dan
menghabiskan Tanah dan Alam Intan Jaya, yang akan berakibat pada pembasmian
dan pemusnahan beberapa etnis di Kabupaten Intan Jaya,.!!! Ingat dan Igat
kalimat ini.
Begitu
perusahaan itu “Mulai Tumbuh dan Beroperasi”, maka Presiden akan menurunkan “Aturan yang
mengikat masyarakat setempat”. Aturan itu seperti memfasilitasi dan
mendatangkan TNI/POLRI sebanyak mungkin untuk menjaga “kebun” atau perusahaan
tambang para Investor.
Maupun aturan
dalam pemerintah daerah setempat.
Presiden akan menyiapkan dan
mendatangkan TNI/POLRI dan Investor akan
memberi makan dan jaminan secara baik dalam jumlah yang sangat banyak dari
hasil garapan “kebun/ perusahaan tambang itu” .
agar TNI/POLRI menjaga “kebun” para investor dengan baik dan
terkendali.
Yang menjadi contoh Nyata dimata kami adalah
masuknya perusahan Raksasa milik Ameriaka Serikat PT. Freeport Mc Moran Gold
& Copper pada tanggal 07 April 1967 di Timika Papua. Yang telah menelan
ribuan ribuh manusia papua maupun non papua. Bagai siapa saja yang melawan atau
menuntut hak ulayat mereka dicap sebagai
Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sehingga harus ditembak mati. Begitu perusahaan
Tambang mulai “tumbuh subur”, tetapi
masyarakat setempat masih tetap meminta hak ulayat mereka atau menganggu
perusahaan, maka Investor akan meng-
Setting keadaan sedemikian rupa untuk meng-Ahli-kan Isu masyarakat setempat
agar masyarakat setempat saling perang antara satu sama yang lain, sementara
tambang “Tambang Emas terus dikuras dan
dihabiskan”.
Hal ini selalu terjadi dimana-mana, karena Orang yang membawa Agama itu sudah
mengetahui budaya setempat dan ditambah dengan penelitian –penelitian yang
disponsori oleh kaum pemodal/ Investor tadi, seperti penelitian yang di lakukan
dari perguruan tinggi ATMA JAYA beberapa bulan lalu di sugapa Intan jaya. Ini memang cara-cara neo-kolonial yang selalu
dipraktekan dibelahan dunia mana saja. Guna
menipu, merampas, menguras, memecah-belakan dan memusnahkan masyarakat pribumi
dari tanah leluhur-nya yang Tuhan berikan.
Cara yang selalu
digunakan oleh neo- kolonial di belahan dunia
mana saja adalah bagimana menghancurkan budaya setempat. Ketika budaya setempat sudah dihancurkan, maka
jati diri sebagai orang pribumi terhilang; jika ini yang terjadi, maka dasar
pijakan terhilang, hancur dan kehilangan arah hidup, setelah budaya
dihancurkan, seperti masuknya Beras Raskin dan Masuknya uang Turkam agar orang
Tua Kita yang dulunya bekerja rajin, menjadi Pemalas dan menggantungkan hidup pada uang turkam dan beras raskin, bukan itu
saja pasti diantara kita ada yang tidak tau bahasa Ibu atau “Miga Dole”.
Bahasa, lagu,
rumah, noken, cara berkebun, cara berbicara, cara bercanda, cara berbusana
adat, gelang, kalung dan masih banyak hal yang tidak dapat dimuat dalam
tulisan. hal inilah yang dikatakan “JATI DIRI”.
Apabila hal-hal ini sudah dihancurkan dan dimusnahkan oleh Neo-Kolonial,
maka neo- kolonial “Akan Menguasai Tanah
dan Kekayaan Alam setempat”. Begitu
tanah dan kekayaan alam sudah di Kuasi oleh Neo- Kolonial, maka habis juga
masyarakat setempat, karena segala Kekayaan Alam, Tanah dan Hutan Milik-nya
sudah di Jual Habis, kepada Orang Pendatang. Catat dan Ingat Kalimat ini
Baik-baik,!!!
Yang jelas-jelas masyarakat di Kabupaten Intan Jaya
akan punah dan tinggallah sejarah bahwa di Intan Jaya pernah hidup beberapa
suku. Kita sebagai penghuni Intan Jaya musti sadari bahwa letak kabupaten Intan
Jaya yang sangat sempit dan masyarakat
pada umumnya “meng-Gantungkan hidup
mereka pada sungai Wabu, Kemabu, Mbiabu dan sungai-sungai lainnya di Intan Jaya”. Apabilah perusahaan PT. Freeport “dipaksakan”, maka yang jelas limba akan
dibuang kesungai Wabu, kemabu, Mbiabu dan sungai-sungai lainnya di Intan Jaya,
maka Habislah masyarakat Intan Jaya dan di tambah dengan “penguasaian tanah” dari orang pendatang yang akan berakibat
pada penyinggiran masyarakat intan jaya secara sistematis dan otomatis yang
menuju kepemusnaan etnis secara pelan tapi pasti.
Untuk Lebih Jelas Mari
kami baca Sebuah Kisah
Pembodohan, Pencurian dan Penipuan serta perampasan Alam dan Tanah
Yang Dilakukan Oleh PT. Freeport Terhadap Masyarakat Di Kabupaten Intan Jaya, Dibawa Ini;
Intan jaya merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Pania pada tahun dua ribu delapan
lalu. pada saat itu Sugapa, Hitalipa dan beberapa daerah lainya di Intan Jaya
masih di atur oleh pemerintah daerah Kabupaten Paniai. Disaat itu Pada awal
tahun 1989-1990 datanglah beberapa orang barat yang menamakan diri Tim
Survei. Tim survei ini diantar oleh anak
pekabaran Injil di Distrik Hitalipa, yakni Jani mala, panggilan yang akrab
dipakai oleh masyarakat setempat, nama sebenarnya adalah John Cutts.
Mereka datang dari Timika menggunakan Helikopter
milik Airfast, setelah tibah di pos misionaris Kingmi Distrik Hitalipa mereka
melanjutkan perjalanan ke Sungai Hiyabu yang letaknya tidak jau dari Pos
misionaris tersebut. Setelah tibah di sungai tersebut mereka mengambil sampel
berupa pasir, air dan batu-batuan dari sungai tersebut. setelah itu mereka
melanjutkan perjalanan ke muarah sungai Hiyabu dan Dogabu lalu melanjutkan
perjalanan ke muara sungai Wayabu dan Wabu dan melanjutkan perjalanan ke
beberapa anak sungai dari kali Wabu. Mereka mengambil semua sampel dari
sungai-sungai tersebut berupa pasir, air
dan batu- batuan.
Di sungai wabu John Cutts sempat bertemu dengan sala
satu warga setempat, yakni Stevanus Sondegau di Wandoga, yaitu di Wonemiggi
talipa atau kali wonemiggi. John dan teman-temanyan terus melanjutkan
perjalanannya ke muara sungai Tigabu dan mengambil sampel pasir,air dan
batu-batuan lalu mendulang pasir. Saat itu John sempat bertemu dengan sala satu
warga setempat, yakni Ojegoa Tawa Mbole Belau, nama setempat atau Didimus
Belau.
Didimus Belau merupakan warga Desa Bilogae Distrik
Sugapa yang hari-harinya berladang Ubi, Keladi dan tanaman lainnya disepanjang
sunagai Tigitalipa. Seperti biasanya John Cutts menggunakan bahasa setempat,
yakni bahasa Moni, ia memberikan Informasi kepada Didimus mengenai kegiatan
yang di jalaninya saat itu.
Kata John Cutts kepada Didimus dalam bahasa Moni “ A me,..mepao,..mendaga kaneta taliago
kaya, Hitalipagemaya tali ne,..du ne,..homa ne,.. inigiao dia digio,. usua naga ndogo- Timika ge inua noa nggaga inuapa dutima dia diggiyo,.data kapage go
wabu ge dega-dega data homeyo pialiggiyo dipage go Timika puapaya tutur John”
artinya: mepa saya ikut orang-orang ini jalan ambil air, batu dan pasir dari
Hitalipa untuk dilihat dalam laboratoriumTimika, dari sini kami akan
melanjutkan perjalanan mengikuti hulu sungai Wabu lalu ke Distrik Homeyo dan
selanjutnya kami akan ke Timika. John
Cutts yang selalu di sapa masyarakat setempat Jani Mala bersama rombongan Tim
Survei menuju Distrik Homeyo.
Setelah beberapa bulan kemudian tepatnya pada
tanggal 28 september 1991 John Cutts mewakili PT. Freeport berkunjung yang
kedua kalinya ke Sugapa Intan Jaya. Tujuan John Cutts adalah untuk bertemu
dengan kepala Distrik Sugapa dan Para kepala suku untuk menyampaikan kegiatan
PT. Freeport yang akan beroperasi di
Distrik Sugapa dan Beberapa Distrik lainya di Intan Jaya.
Di saat itu pertemuan diadakan di kantor Camat Sugapa dan dihadiri oleh
Hombore B.A selaku kepala Camat Sugapa saat itu dan unsur Tripika Kecamatan
serta beberapa tokoh masyarakat pemilik ulayat ikut hadir dan mendengarkan apa
yang disampaikan oleh John Cutts di kantor tersebut.
Tokoh- tokoh masyarakat Moni pemilik ulayat yang
hadir dalam pertemuan itu antara lain: Paulus Japugau, Yuliu Sani, Adolof
Belau, Oktopianus Sondegau, Samuel Japugau, Samuel Japugau, Andreas Tipagau,
dan Bony Sondegu dan beberapa tokoh lainya, setelah mereka mendengar penjelasan
dari John Cutts tokoh-tokoh masyarakat
malah bingung dan tidak mengerti tujuan John untuk melakukan Eksplorasi
(Survei) di daerah mereka, sehingga masyarakat langsung pulang kerumah mereka “tanpa menyepakati atau menyetujui” keinginan
John Cutts untuk melakukan eksplorasi di daerah mereka.
John Cutts
memanfaatkan keterbatasan pengetahuan dan ketertinggalan masyarakat Intan
Jaya dan memasukan PT. Freeport dengan
inisiatif sendiri tanpa melakukan “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” dengan
masyarakat pemilik ulayat. Walaupun “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” belum
dibuat, namun John Cutts tetap memaksakan keinginana-nya dengan mendatangkan
PT. Freeport untuk Operasi Eksploitasi di Sugapa dan beberapa Distrik lainya di Intan Jaya. Cara John Cutts Ibarat
perampok dan Pencuri di Siang Hari.
Cara John Cutts ini menjadi kesempatan bagi PT.
Freeport untuk melakukan Eksplorasi di Sugapa, Hitalipa dan beberapa Distrik
lainya di Intan Jaya, sehingga masyarakat tinggal menerima apa adanya lalu
masyarakat hanya “mengusulkan kepada PT.
Freeport tanpa tertulis” memperbolehkan melakukan aktifitas Eksplorasi,
tetapi sebagai ganti rugi pepohonan yang ditebang oleh PT. Freeport untuk helipad, drillpad,
material pad dan lain- lain harus menerima masyarakat setempat sebagai karyawan di sugapa saat itu, tutur sala satu tokoh
masyarakat pemilik ulayat yang dipercayai di kampung itu.
Begitu menerima beberapa pemuda dari kampung sebagai
karyawan lokal untuk bekerja sebagai karyawan PT. Freeport di Sugapa, namun mereka mengalami banyak
hambatan. Meraka tidak tau apa yang harus mereka buat. Setiap pagi pukul 04. 30
subuh mereka sudah harus menyiapkan bahan dan alat untuk membangun base camp,
membongkar tanah dan karyawan lainya naik turun ke hutan tempat dimana akan
dibangun Halipad, Drillpad, Materialpad
dan Landing site. Hari bergani- hari minggu berganti minggu dan bulan berganti
bulan karyawan lokal menerima upah
mereka dalam jumlah yang sangat kecil.
Helikopter yang di sewa untuk eksplorasipun pergi pulang Timika tanpa
henti-hentinya untuk mengantar makanan
para karyawan lokal di sugapa Intan Jaya. Begitu Eksplorasi di sugapa mulai “Tumbuh Subur” Camp Manager PT. Freeport
menerima TNI/POLRI yang saat itu bertugas di kecamatan Sugapa untuk mengamankan
situasi setempat.
Untuk membangun camp tentu perusahaan membutukan
bahan bangunan, sehingga perusahan meminta masyarakat setempat untuk menyiapkan
papan dan kayu buah dengan perjanjian akan dibayar,yaitu papan runcing, dengan
harga RP. 15.000;- perlembar, kayu buah yang besar RP. 10.000;- dan kayu Buah
sedang sebesar RP. 5.000;- perbuah. Mendengar informasi itu masyarakat setempat
menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan. Namun sangat disedihkan,
bagi masyarakat setempat karena dalam pembayaran bahan-bahan lokal yang
disiapkan masyarakat dibayar tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah
ditetapkan oleh PT. Freeport, malah harus ditawar lagi menjadi harga yang
paling rendah dan dibelinya. Dalam transaksi tersebut masyarakat ada yang
protes, maka akan berhadapan dengan TNI/POLRI untuk mengamankan masyarakat.
Apabila ada masyarakat yang masih protes, maka
persoalan tersebut akan diproses oleh TNI/POLRI yang bertugas disitu, seperti
salah satu warga setempat yang protes, yakni Linus Sondegau, namun sayangnya
dia dipukul sampai babak belur dan terjadilah perkelahian masal antara TNI/PORI
dan karyawan lokal.
Melihat hal itu masyarakat setempat tak kuasa untuk
melalkukan protes lagi terhadap penipuan yang dilakukan oleh PT. Freeport di
Sugapa Intan Jaya. Sedangkan John Cutts
entah kemana perginya, setelah dia mendatangkan orang-orang yang tidak tau
kasih itu. Karyawan lokal hanya menerima semua itu dengan berkepala dingin,
karena mereka belum siap menjadi karyawan. Masyarakat setempat yang diterima sebagai Tim
Hoist banyak yang jatu dari hilikopter, karena belum dibekali pengetahuan
tentang keselamatan kerja. Beberapa karyawan lokal jatuh dari hilikopter saat
terjun dari udara dengan tali pengikat, seperti sala satu karyawan yang tersangkut dipohon yang letaknya
dipundak gunung Wabu-Sugapa.
Karyawan itu tidak tertolong namun untungnya
helikopter melepaskan tali pengikat, sehingga karyawan yang bernama Didimus
Japugau tersangkut di atas dahan pohon. Kebun-kebun masyarakat setempat rusak
ulah dari angin hilikopter saat mendarat membawa alat-alat perusahaan ke lokasi
kerja. Pemilik kebun menuntut agar membayar semua kebun yang dirusakan oleh
helikopter milik PT. Freeport, namun apa boleh buat karena prosesnya diahlikan
ke pihak TNI/POLRI di Kecamatan Sugapa saat itu. Sehingga masyarakat menerima
semua ketidakadilan itu dengan lapang dada.
Kegiatan Eksplorasi dilakukan di tempat-tempat
sasaran masyarakat, seperti tempat berburuh, tempat mencari rotan, tempat
mencari kayu, maupun tempat berkebun. Base Camp Bilagae- Sugapa dijaga ketat
oleh TNI/POLRI dan melarang masyarakat berkeliaran sing dan malam hari di base
camp. Babi masyarakat desa Bilogae diburuh 2- 3 ekor oleh keamanan yang menjaga
base camp tanpa memberitahu kepala desa bilogae terlebi dulu, separuh daging
diminta begitu saja oleh anggota, kata mereka
mengganti peluruh yang hilang,sehingga mau-tidak mau pemilik babi menerima
semua itu dengan lapang dada.
Malam hari base camp bilogae (Wabu) memanfaatkan
kesempatan untuk membawa gadis- gadis kampung yang masih dibawah umur lalu
melakukan hubungan setubuh selayaknya suami istri, bahkan beberapa istri orang
diperlakukan hal yang sama.
Dilain kesempatan karyawan lokal diajar bermain judi
dan hal-hal negatif lainya. Apabila
karyawan lokal ingin mengunjungi kelurgannya yang sakit malah dibentuk, Ayo kerja atau mau kelur, inilah julukan
untuk para karyawan lokal di Wabu Intan Jaya.
PT. Freeport masuk Eksplorasi dengan
sebebas-bebasnya di atas Tanah, Hutan dan Sungai di Wabu Intan Jaya, ibarat
Tanah dan Hutan Tanpa Tuan atau dalam bahasa Engros Tobati mengatakan “ Land and Forest Without a Master”. Segala
kerusakan flora dan fauna sampai detik ini
belum dibayar. Akibat PT, Freeport merusak dan memusnahkan Alam dimana
tempat-tempat perlindungan bagi hewan, tumbuhan dan tanaman masyarakat setempat
di sapuh rata, maka semua makluk yang menghuni didalamnya menggungsi
ketempat-tempat yang dapat hidup lebih baik dan aman.
Melihat semua
pengalaman dan penderitaan itu apakah ada manusia yang menghuni wilayah itu,.? Apakah penghuni wilayah itu telah di “Telan Habis”
oleh binatang buas PT. Freeport,.? Apakah penghuni wilayah itu ada,.? Kalau ada
mengapa harus diam membisu. Ataukah Diam membisu, karena Mendukung semua kegiatan yang
dilakukan oleh PT. Freeport. Ataukah Diam Membisu karena “senang dan bangga
untuk Mendukung” Agar Orang Pendatang
Membodohi dan Mengguras tanah
anda, hutan anda, air anda, pohon anda, rotan anda, kayu anda dan segala
kekayaan milik anda,!!! Ataukah,.? malas tau dan nonton saja, karena mendukung
orang pendatang mengambil semua kekayaan Alam-mu.
Sehingga harapan besar penulis sebagai, Ketua
Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya, (KOMISI) bersama
teman-teman, adik-adik dan semua orang yang peduli terhadap Masyarakat dan Alam
Intan Jaya, merasa prihatin dan merasa sedih akan bencana alam yang secara sistematis dan
otomatis akan mengacam kelangsungan hidup masyarakat Intan Jaya. Sehingga kita
musti lihat, berpikir, bekerja dan bertindak untuk menyelamatkan umat TUHAN
yang menghuni wilayah Magataga hingga Mbulu-mbulu. “Ingat Pengalaman adalah Guru,
hal-hal yang sudah terjadi di Timika dan beberapa daerah lain menjadi contoh
Nyata untuk kita melihat, berpikir, bekerja dan bertindak”.
Bertolak dari pengalaman PT. Freeport di Timika,
maka kami Sebagai Penghuni Intan Jaya
marilah kami “Sadar dan memandang Tanah
dan Alam sebagai Mama yang selalu memberikan Asi dan memandang manusia yang
menghuni di dalam-nya sebagai manusia yang Utuh. mKeutuhan sebagai manusia yang Utuh adalah
Kerendahan Hati serta Keteladanan hidup yang Membebaskan, Meneguhkan dan
Melayani sesama dengan penuh sabar, tenang, setia, saling menerima dan saling
menghargai satu sama yang lain, serta bertindak untuk menjaga keutuhan hidup
manusia dan alam Intan Jaya dari bahaya kepunahan dan kehancuran”.
“Bertolak
Dari Diri, Kembalilah Ke Jati Dirimu”
Budaya merupakan kebiasaan yang selalu dilakukan
ulang-ulang disuatu daerah atau wilayah.
Budaya itu sudah ada sejak nenek moyang suatu suku bangsa diciptakan dan
ditempatkan oleh Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya menujukan suatu
suku Bangsa disuatu derah atau wilayah.
Demikian pula dengan budaya suku Moni yang menunjukan suku bangsa Moni
di Intan Jaya
Namun sangat disayangkan karena budaya-budaya yang
BAIK, yang ada pada masyarakat Moni intan jaya
mulai terkikis dan punah dengan sendirinya dengan budaya lokal dari luar
intan jaya .
Sehingga moralitas dan mentalitas sebagai anak adat
yang dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya Moni terkikis dengan sendirinya,
Karena anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam Budaya Moni itu sendiri tidak
melihat, menggali dan Menerapkan budayanya sendiri, malah sebaliknya anak Adat itu meniru dan menerapkan budaya lokal
suku Bangsa orang lain, yang
mengantarnya kejurang Hawa Nafsu (yaitu Wogo ge Ba Ajinggiya Naga seperti,
he.ee,..hee,..hee,. yah,.. kami menyanyi pake bahasa moni, tapi Gaya seperti
babi Rampas Tai itu, kami tidak perna lihat kalau orang tua kami menyanyi
seperti gaya itu) gaya ini tidak bisa membuat dirinya tenang dan Disusul dengan mempengaruhi budaya melayu indonesi yang mengantarnya ke
dunia kegelapan dan jurang maut hawa Nasfsu.
Hal ini
terutama dilihat dari sisih sosial budaya dan politik di Kabupaten Intan
Jaya. Hal Ini menunjukan bahwa orang-orang yang tidak punya Budaya dan
Jati Diri sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam adat dan budaya Moni.
Budaya Moni selalu mengutamakan dan mengajarkan
nilai-nilai luhur harga diri seseorang sebagai manusia yang Utuh. Hal ini dilihat dari “belas kasihan” seseorang
kepada seorang yang lain, seperti dalam perang, seorang musuh akan
menyerahkan tali busur dan anak panah
kepihak lawan ketika tali busurnya putus atau anak panahnya habis. Walaupun
dalam keadaan yang sangat berbahaya di medan perang budaya Moni mengajarkan“ KASIH”.
Kita tidak
bisa meniru budaya orang lain yang
akhirnya membuat kita gila, gelisah, bingung, nafsu dan mengantarkan kita ke dunia kegelapan dan
jurang maut, hawa nafsu, karena Tuhan
sudah menempatkan tiap-tiap suku bangsa dengan budayanya atau kebiasaanya
masing-masing yang menujukan karakter tiap-tiap suku bangsa itu.
“Budaya
merupakan kebiasaan dan kebiasaan menujukan karakter suatu suku bangsa dalam
melihat, berpikir dan bertindak sesuai
dengan kebiasaannya atau budayanya”. Hal Inilah yang dikatakan “JATI DIRI” Sehingga kita tidak bisa memaksa
budaya orang lain menjadi budaya kita.
Budaya Moni sudah ada sejak moyang kita sebelum
adanya Agama dan adanya Pendidikan di Intan Jaya. Budaya Moni mengajarkan “Jangan Mencuri (Mene Noa Sege Kiduame) jangan Bersinah (Tubaga Kidua Me)
dan jangan Membunuh (Mene waga Kimapuame)”.
Hal Ini menujukan bahwa nilai-nilai Agama sudah ada
walaupun Agama pada saat itu belum masuk
diwilayah intan jaya. “Budaya
ini terkikis habis-habisan dengan perkembangan jaman ini” yang mengutamakan
korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya. Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang
membudaya ini merupakan “budaya melayu
indonesia” yang sudah darah daging
diberbagai kalangan.
Budaya Ini menujukan bahwa budaya
suku bangsa orang lain yang “dipaksakan” untuk menjadikan budaya-nya, sehingga berbagai kalangan
menjadi Gila, Binggung, Nafsu yang akhirnya membuat dirinya tidak bisa
tenang. Sehingga mengantar-nya kejurang
Kegelapan dan Hawa Nafsu.
Peran budaya membawa ajaran Tuhan
Yang Maha Kuasa dalam tata etika politik dan perubahan sosial disuatu derah
atau wilayah, apabila itu dilihat, ditekuni, diterjemakan dan diterapkan dengan “Hati dan Kasih sesuai dengan Jati
Diri Suku Bangsa Itu”.
Kembalilah kepada
Jati Dirimu, yakni “MIGANI” yang artinya “Biasa-biasa” maksudnya Tidak
Berlebihan, jadi apa adanya, artinya
sudah cukup dengan apa yang ada pada kita.
Kita tidak boleh Mencuri bagian dari orang lain atau Merampas Hak orang
lain.
“MIGANI” inilah sesunggunya “Jati Diri Suku Bangsa MONI”.
Kembali kepada Jati Diri, bukan
ajakan untuk menarik diri dan bersembunyi.
Kembali kepada Jati Diri dilakukan dalam rangka untuk dapat keluar
menampilkan diri lebih bijaksana dalam mengikuti jalan Tuhan. Kembali ke jati
diri agar dapat melangka lebih baik;
mundur sesaat untuk dapat melangka maju lebih bijak. Kembalilah kepada jati diri. Mengapa kita
harus melarikan diri dari jati diri kita untuk mencari setumpuk kesenangan yang
membawa kita kejurang kegelapan dan hawah nafsu.
Seseorang yang
benar-benar dapat menyelami “Kasih dan kebenaran” akanmengenal
jati dirinya. Orang yang mengenal jati dirinya akan mengenal YAHWEH ELOHIM
(Tuhan Allah) Yang punya kuasa atas langit dan bumi secara baik dan tulus.
Kembali kepada jati diri bukan sekedar ingin
melarikan diri dari kenyataan rumit hidup, melainkan untuk memiliki cakrawala
yang lebih luas agar dapat mengarahkan diri dalam langka hidup yang lebih baik
dan benar,yaitu semakin memahami, mengerti, menerima, memperhatikan serta
menerapkan apa yang terkandung dalam nilai-nilai “MIGANI”
itu sendiri. (Komisi)
Amakaniee, Salam Perubahan……