bendera indonesia |
illary Clinton, Diplomasi Publik dan Skenario Balkanisasi Nusantara
Dikirim oleh Webmaster
Kedatangan Menteri Luar Negeri baru Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton ke Jakarta belum lama ini Februari lalu, memang cukup istimewa dan mengundang simpati berbagai kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Maklum, mantan isteri Presiden Amerika Bill Clinton itu tidak sekadar datang dan mengadakan pertemuan dengan presiden beserta para menteri di Jakarta seperti yang dilakukan oleh George W. Bush. Melainkan juga menjalin serangkaian pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat seperti para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat seperti yang digelar di Gedung Perpustakaan Nasional.
Ini memang sebuah model dari strategi Diplomasi Publik yang diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika bahkan sejak era kepresidenan George W. Bush. Hanya saja, karena kebijakan luar negeri Bush yang memprioritaskan pada pendekatan militeristik yang ofensif terhaap berbagai negara berkembang, terutama negara-negara berpenduduk Islam, maka strategi Diplomasi Publik Amerika jadi tidak ada gunanya sama sekali.
Sekarang, dengan gaya kepemimpinan Barrack Obama yang berhaluan partai democrat yang secara tradisional selalu mengedepankan demokrasi dan penegakan Hak-Haka Asasi Manusia, maka Diplomasi Publik ala Hillary Clinton bisa menjadi efektif kembali.
Inilah yang diperagakan oleh Hillary ketika dalam rangkaian lawatannya ke Jepang, Indonesia, Cina, dan Korea Selatan. Betapa tidak. Sampai yang namanya acara hiburan musik yang yang dipagelarkan oleh sebuah stasiun TV swasta, Hillary dengan antusias menyempatkan hadir dan ikut serta dalam acara tersebut.
Gaya Bisa Sembunyikan Substansi
Namun berbagai elemen strategis baik di jajaran pemerintahan, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat, sebaiknya jangan terpedaya oleh gaya diplomasi public ala Hillary Clinton.
Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush inilah yang harus dicermati secara seksama. Justru latarbelakang Obama yang kulit hitam dan pernah mukim di Indonesia, secara sadar atau tidak justru bisa dimanfaatkan sebagai intrumen psikologis untuk menaklukkan ego para elit politik di pemerintahan maupun DPR yang sepanjang masa kekuasaan Bush boleh dibilang sangat anti Amerika.
Apalagi dengan adanya invasi Bush ke Afghanistan dan Irak yang notabene negara berpenduduk mayoritas Islam, maka sentiment Amerika praktis telah menjadi isu untuk meggalang solidaritas seluruh elemen-elemen Islam yang ada di Indonesia. Tak terkecuali Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia namun berhaluan moderat dan penuh toleransi.
Karena itu, adanya pergeseran politik luar negeri Obama melalui gaya Diplomasi Publik Hillary Clinton, merupakan opsi yang logis diterapkan Amerika untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi semasa Bush berkuasa.
Namun, apakah ada yang berubah secara fundamental dari sisi motivasi Amerika sebagai kekuatan global yang bertujuan menguasai dunia? Rasa-rasanya belum ada perubahan yang berarti alias sama saja.
Tidak percaya? Dalam kampanye Obama, meski dia secara tega akan menarik mundur pasukan Amerika dari Irak, tapi lucunya Obama malah mendesak agar jumlah pasukan Amerika di Afghanistan malah diperbanyak.
Ada apa di balik opsi yang diambil Obama tersebut? Tak sulit menjawabnya. Afghanistan tidak saja berbatasan dengan Pakistan yang selama ini berada dalam pengaruh Amerika baik dari segi politik maupun militer, tapi pada saat yang sama Afghanistan adalah negara yang secara langsung bisa mengakses negara-negara Asia Selatan yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet. Seperti Khazakstan, Uzbekistan, Kirgistan, dan lain sebagainya.
Negara-negara ini, menurut beberapa sumber informasi yang berhasil dihimpun Global Future Institute (GFI, memiliki sumberdaya alam khususnya minyak dan tambang batubara, dan dalam skala yang cukup besar.
Selain itu, kebijakan luar negeri Obama yang tetap offensif terhadap Afghanistan, merupakan indikasi bahwa Amerika mulai tidak mempercayai Presiden Pakistan Jenderal Parvez Musharaf.
Apalagi selama ini Inter Service Intelligence(ISI), badan intelijen Pakistan secara diam-diam tetap mendukung dan melindungi kelompok-kelompok Islam radikal termasuk Taliban dan Al-Qaeda.
Artinya, meski Obama dan Clinton memilih pendekatan non-militer dalam menarik simpati dan dukungan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, namun ketika ancaman nyata memang cukup jelas bagi mereka seperti kasus Afghanistan, maka Obama dan Clinton pun akan mendukung opsi penggunaan kekuatan bersenjata.
Kepentingan Strategis AS di Indonesia
Dengan cara pandang tadi, maka lawatan Menlu Clinton ke Jakarta Februari lalu pastilah sarat dengan kepentingan strategis. Meski dalam pernyataannya setelah bertemu Menlu Hassan Wirajuda Menlu Clinton memuji praktek demokrasi di Indonesia, namun yang tersirat adalah peringatan agar Indonesia jangan sekali-kali punya keinginan untuk merubah.
Di sinilah sisi rawan dari platform politik pemerintahan Obama. Dengan demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi durii dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika(Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon, internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang.
Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Nah dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Maklum, rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary Clinton.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yaitu Timor Timur, dan ini sudah terjadi pada 1999. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah dengan melalui MoU Helsinki dan kemungkinan menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009. Kemudian Ambon, Papua, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Papua, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Papua, dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini.
Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski denan metode yang berbeda.
Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara di kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara musuh Amerika.
Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Luis Inacio Lula dari Brazil yang memprioritaskan pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan warga Indian, dan sebagainya.
Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.
Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika, meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.
Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.
Dikirim oleh Webmaster
Kedatangan Menteri Luar Negeri baru Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton ke Jakarta belum lama ini Februari lalu, memang cukup istimewa dan mengundang simpati berbagai kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Maklum, mantan isteri Presiden Amerika Bill Clinton itu tidak sekadar datang dan mengadakan pertemuan dengan presiden beserta para menteri di Jakarta seperti yang dilakukan oleh George W. Bush. Melainkan juga menjalin serangkaian pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat seperti para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat seperti yang digelar di Gedung Perpustakaan Nasional.
Ini memang sebuah model dari strategi Diplomasi Publik yang diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika bahkan sejak era kepresidenan George W. Bush. Hanya saja, karena kebijakan luar negeri Bush yang memprioritaskan pada pendekatan militeristik yang ofensif terhaap berbagai negara berkembang, terutama negara-negara berpenduduk Islam, maka strategi Diplomasi Publik Amerika jadi tidak ada gunanya sama sekali.
Sekarang, dengan gaya kepemimpinan Barrack Obama yang berhaluan partai democrat yang secara tradisional selalu mengedepankan demokrasi dan penegakan Hak-Haka Asasi Manusia, maka Diplomasi Publik ala Hillary Clinton bisa menjadi efektif kembali.
Inilah yang diperagakan oleh Hillary ketika dalam rangkaian lawatannya ke Jepang, Indonesia, Cina, dan Korea Selatan. Betapa tidak. Sampai yang namanya acara hiburan musik yang yang dipagelarkan oleh sebuah stasiun TV swasta, Hillary dengan antusias menyempatkan hadir dan ikut serta dalam acara tersebut.
Gaya Bisa Sembunyikan Substansi
Namun berbagai elemen strategis baik di jajaran pemerintahan, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat, sebaiknya jangan terpedaya oleh gaya diplomasi public ala Hillary Clinton.
Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush inilah yang harus dicermati secara seksama. Justru latarbelakang Obama yang kulit hitam dan pernah mukim di Indonesia, secara sadar atau tidak justru bisa dimanfaatkan sebagai intrumen psikologis untuk menaklukkan ego para elit politik di pemerintahan maupun DPR yang sepanjang masa kekuasaan Bush boleh dibilang sangat anti Amerika.
Apalagi dengan adanya invasi Bush ke Afghanistan dan Irak yang notabene negara berpenduduk mayoritas Islam, maka sentiment Amerika praktis telah menjadi isu untuk meggalang solidaritas seluruh elemen-elemen Islam yang ada di Indonesia. Tak terkecuali Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia namun berhaluan moderat dan penuh toleransi.
Karena itu, adanya pergeseran politik luar negeri Obama melalui gaya Diplomasi Publik Hillary Clinton, merupakan opsi yang logis diterapkan Amerika untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi semasa Bush berkuasa.
Namun, apakah ada yang berubah secara fundamental dari sisi motivasi Amerika sebagai kekuatan global yang bertujuan menguasai dunia? Rasa-rasanya belum ada perubahan yang berarti alias sama saja.
Tidak percaya? Dalam kampanye Obama, meski dia secara tega akan menarik mundur pasukan Amerika dari Irak, tapi lucunya Obama malah mendesak agar jumlah pasukan Amerika di Afghanistan malah diperbanyak.
Ada apa di balik opsi yang diambil Obama tersebut? Tak sulit menjawabnya. Afghanistan tidak saja berbatasan dengan Pakistan yang selama ini berada dalam pengaruh Amerika baik dari segi politik maupun militer, tapi pada saat yang sama Afghanistan adalah negara yang secara langsung bisa mengakses negara-negara Asia Selatan yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet. Seperti Khazakstan, Uzbekistan, Kirgistan, dan lain sebagainya.
Negara-negara ini, menurut beberapa sumber informasi yang berhasil dihimpun Global Future Institute (GFI, memiliki sumberdaya alam khususnya minyak dan tambang batubara, dan dalam skala yang cukup besar.
Selain itu, kebijakan luar negeri Obama yang tetap offensif terhadap Afghanistan, merupakan indikasi bahwa Amerika mulai tidak mempercayai Presiden Pakistan Jenderal Parvez Musharaf.
Apalagi selama ini Inter Service Intelligence(ISI), badan intelijen Pakistan secara diam-diam tetap mendukung dan melindungi kelompok-kelompok Islam radikal termasuk Taliban dan Al-Qaeda.
Artinya, meski Obama dan Clinton memilih pendekatan non-militer dalam menarik simpati dan dukungan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, namun ketika ancaman nyata memang cukup jelas bagi mereka seperti kasus Afghanistan, maka Obama dan Clinton pun akan mendukung opsi penggunaan kekuatan bersenjata.
Kepentingan Strategis AS di Indonesia
Dengan cara pandang tadi, maka lawatan Menlu Clinton ke Jakarta Februari lalu pastilah sarat dengan kepentingan strategis. Meski dalam pernyataannya setelah bertemu Menlu Hassan Wirajuda Menlu Clinton memuji praktek demokrasi di Indonesia, namun yang tersirat adalah peringatan agar Indonesia jangan sekali-kali punya keinginan untuk merubah.
Di sinilah sisi rawan dari platform politik pemerintahan Obama. Dengan demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi durii dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika(Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon, internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang.
Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Nah dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Maklum, rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary Clinton.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yaitu Timor Timur, dan ini sudah terjadi pada 1999. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah dengan melalui MoU Helsinki dan kemungkinan menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009. Kemudian Ambon, Papua, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Papua, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Papua, dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini.
Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski denan metode yang berbeda.
Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara di kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara musuh Amerika.
Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Luis Inacio Lula dari Brazil yang memprioritaskan pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan warga Indian, dan sebagainya.
Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.
Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika, meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.
Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....