Kamis, 08 November 2012

“Aku” Tetap “Papua”


Andy Tagihuma, Foto : Ist
Gitar diraih; jemari menari di senar, nada merdu mengalun menyusupi telinga: “Aku Papua.”

Tanah Papua/tanah yang kaya/
surga kecil jatuh kebumi/
seluas tanah sebanyak batu/
adalah harta harapan/
Tanah Papua/ tanah leluhur/
di sana aku lahir/ bersama angin
bersama daun/
aku dibesarkan
Reff
Hitam kulit/ keriting rambut/
aku Papua/
biar nanti langit terbelah/
aku Papua

(Lagu “Aku Papua,” pencipta dan vokal: Franky Sahilatua)

SEBELUM “Aku Papua” populer, Franky Sahilatua, penggubah dan pelantun lagu balada sarat kritik sosial, sudah sering menyanyikannya. Nyanyian itu biasa dilantunkan selepas diskusi di komunitas-komunitas di kota-kota di Pulau Jawa.

Lagu ini diinspirasikan oleh diskusi Franky dengan teman-teman Papuanya, seperti Wilson Wanda dan Robby Rumbiak. selain oleh perjalanannya sendiri ke Papua.

Franky mengalegorikan Papua sebagai surga (paradise, Eden) bertumpukan masalah kronis. Penduduk negeri terpinggirkan, dan tersudutkan di tanah sendiri.


Franky mau menggugah kembali “anak negeri” akan potensi alam dan eksistensi diri. Ia hendak  membangkitkan kembali kepercayaan dan kebanggaan diri yang sudah sekarat tercabik-cabik oleh serbuan dan dominasi budaya, kepentingan ekonomi dan ideologi luar.

Dalam lirik pertama, Franky Sahilatua menceritakan kondisi geografi Papua−pulau yang mirip seekor kasuari atau kanguru, salah dua dari hewan khas pulau Papua.

Dari pulau Gak di barat hingga Samarai di timur, dari pulau Mapia di utara sampai Kimaam di selatan, kekayaan alam Papua tersimpan. Dalam peta pertambangan, tampak semua titik pertambangan menyebar di seantero pulau Papua. Saat ini, baru dua perusahaan pertambangan yang melalukan epsloitasi di Papua, tambang emas di Timika (Freeport) dan gas di Bintuni (British Petroleum), perusahaan korporasi multinasional (MNC).

Dampak dari eksploitasi sudah  disaksikan dan dialami penduduk pulau ini, yang positif dan, terutama, yang negatif.  Negara menerima pajak yang sangat besar, sebagian kecil juga dinikmati daerah.   Suku-suku asli di sekitar perusahaan dipinggirkan dari lahan-lahan dan dusun adat. Pencemaran Freeport McMoran telah menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa, baik terhadap hutan maupun sungai dan seisinya.

kekayaan alam, manusia, flora dan fauna, dari darat hingga laut serta interaksi antarmereka,bak  surga yang hadir di bumi. Surga yang membuat manusianya hidup damai dan sejahtera ribuan tahun, andaikan kekayaan alam itu di manfaatkan dengan bertanggung jawab dan lestari. Tanpa pengurasan dan kerakusan kaum pemodal. Dalam pandangan agama samawi, surga berarti sebuah dunia (masa) penuh kedamaian dan sukacita. Dalam dunia nyata, surga bermakna tempat yang indah, hidup nyaman dan sejahtera (berkecukupan).

Di atas tanah yang berlimpah inilah penduduk negeri beraktivitas dan hidup. Anak-anak negeri pergi bersekolah, belajar dan berlatih  untuk bisa mengelolanya. Tanpa itu, potensi alam itu akan tak bermakna atau jatuh ke tangan pihak lain yang berebutan datang. Tidak cuma di perut bumi, di permukaan bumi, menghampar lahan untuk pertanian, peternakan dan perikanan.  Tapi ironinya, lahan-lahan mulai beralih kepemilikan, dijual karena desakan ekonomi.

Gara-gara emas dan tembanganya, Papua “dijual” kepada Amerika. Kontrak kerja antara Indonesia-Amerika malah dilakukan sebelum Act of Free Choice (“Pepera”) 1969. Berarti ilegal.

Sebagai tanah leluhur, Papua adalah warisan nenek moyang ribuan tahun yang silam. Leluhur dalam pemahaman manusia Papua, tidak berasal dari tempat lain di dunia ini. Mereka hadir di negeri sendiri sebagai ciptaan yang utuh, manusia sejati. Pandangan yang tentu berbeda secara teoritis yang, menyebutkan manusia Papua berasal dari Afrika.

Keleluhuran Papua belum banyak di teliti, berbeda dengan saudaranya yang lain di kawasan Melanesia, semisal, Papua Neuw Guinea, Vanuatu, Solomon dan lainnya. Kurangnya penelitian di bidang arkeologi menyebabkan minimnya data tentang keleluhuran orang Papua.

Orang Papua yang hidup saat ini mampu bertahan dari kerasnya kehidupan, alam kemurahan sang khalik. Kehidupan mereka bisa dibilang dekat dengan kematian. Suatu hari, seorang bercerita, saat ia dalam perjalanan dengan perahu menuju kampung Injros, ia melihat sesuatu terapung. Dikiranya, sebatang kayu. Ia terkejut sewaktu mendekati benda apung itu. Ternyata, seorang anak, berusia tiga tahun. Anak itu diangkatnya ke perahu. Si anak rupanya jatuh dari rumah dan hanyut. Beruntung ia tidak mati tenggelam. Warga kampung sangat terkejut, terutama orang tua si anak. Kejadian seperti ini sering terjadi di Papua. Entah di pantai, rawa, atau gunung.(Andi Tagihuma)

http://suaraperempuanpapua.org/index.php?option=com_content&view=article&id=614:tabi-bermula-dari-perdagangan&catid=3:laporan-utama&Itemid=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....