Andy Tagihuma, Foto : Ist |
Tanah Papua/tanah yang kaya/
surga kecil jatuh kebumi/
seluas tanah sebanyak batu/
adalah harta harapan/
Tanah Papua/ tanah leluhur/
di sana aku lahir/ bersama angin
bersama daun/
aku dibesarkan
Reff
Hitam kulit/ keriting rambut/
aku Papua/
biar nanti langit terbelah/
aku Papua
(Lagu “Aku Papua,” pencipta dan vokal: Franky Sahilatua)
SEBELUM “Aku Papua” populer,
Franky Sahilatua, penggubah dan pelantun lagu balada sarat kritik sosial, sudah
sering menyanyikannya. Nyanyian itu biasa dilantunkan selepas diskusi di
komunitas-komunitas di kota-kota di Pulau Jawa.
Lagu ini diinspirasikan oleh diskusi Franky
dengan teman-teman Papuanya, seperti Wilson Wanda dan Robby Rumbiak. selain
oleh perjalanannya sendiri ke Papua.
Franky mengalegorikan Papua sebagai surga (paradise,
Eden) bertumpukan masalah kronis. Penduduk negeri terpinggirkan, dan
tersudutkan di tanah sendiri.
Franky mau menggugah kembali “anak negeri” akan potensi alam dan eksistensi diri. Ia hendak membangkitkan kembali kepercayaan dan kebanggaan diri yang sudah sekarat tercabik-cabik oleh serbuan dan dominasi budaya, kepentingan ekonomi dan ideologi luar.
Dalam lirik pertama, Franky Sahilatua
menceritakan kondisi geografi Papua−pulau yang mirip seekor kasuari atau
kanguru, salah dua dari hewan khas pulau Papua.
Dari pulau Gak di barat hingga Samarai di timur,
dari pulau Mapia di utara sampai Kimaam di selatan, kekayaan alam Papua
tersimpan. Dalam peta pertambangan, tampak semua titik pertambangan menyebar di
seantero pulau Papua. Saat ini, baru dua perusahaan pertambangan yang melalukan
epsloitasi di Papua, tambang emas di Timika (Freeport) dan gas di Bintuni
(British Petroleum), perusahaan korporasi multinasional (MNC).
Dampak dari eksploitasi sudah disaksikan
dan dialami penduduk pulau ini, yang positif dan, terutama, yang negatif.
Negara menerima pajak yang sangat besar, sebagian kecil juga dinikmati
daerah. Suku-suku asli di sekitar perusahaan dipinggirkan dari
lahan-lahan dan dusun adat. Pencemaran Freeport McMoran telah menyebabkan
degradasi lingkungan yang luar biasa, baik terhadap hutan maupun sungai dan
seisinya.
kekayaan alam, manusia, flora dan fauna, dari
darat hingga laut serta interaksi antarmereka,bak surga yang hadir di
bumi. Surga yang membuat manusianya hidup damai dan sejahtera ribuan tahun,
andaikan kekayaan alam itu di manfaatkan dengan bertanggung jawab dan lestari.
Tanpa pengurasan dan kerakusan kaum pemodal. Dalam pandangan agama samawi,
surga berarti sebuah dunia (masa) penuh kedamaian dan sukacita. Dalam dunia
nyata, surga bermakna tempat yang indah, hidup nyaman dan sejahtera
(berkecukupan).
Di atas tanah yang berlimpah inilah penduduk
negeri beraktivitas dan hidup. Anak-anak negeri pergi bersekolah, belajar dan
berlatih untuk bisa mengelolanya. Tanpa itu, potensi alam itu akan tak
bermakna atau jatuh ke tangan pihak lain yang berebutan datang. Tidak cuma di
perut bumi, di permukaan bumi, menghampar lahan untuk pertanian, peternakan dan
perikanan. Tapi ironinya, lahan-lahan mulai beralih kepemilikan, dijual
karena desakan ekonomi.
Gara-gara emas dan tembanganya, Papua “dijual”
kepada Amerika. Kontrak kerja antara Indonesia-Amerika malah dilakukan sebelum Act
of Free Choice (“Pepera”) 1969. Berarti ilegal.
Sebagai tanah leluhur, Papua adalah warisan nenek
moyang ribuan tahun yang silam. Leluhur dalam pemahaman manusia Papua, tidak
berasal dari tempat lain di dunia ini. Mereka hadir di negeri sendiri sebagai
ciptaan yang utuh, manusia sejati. Pandangan yang tentu berbeda secara teoritis
yang, menyebutkan manusia Papua berasal dari Afrika.
Keleluhuran Papua belum banyak di teliti, berbeda
dengan saudaranya yang lain di kawasan Melanesia, semisal, Papua Neuw Guinea,
Vanuatu, Solomon dan lainnya. Kurangnya penelitian di bidang arkeologi
menyebabkan minimnya data tentang keleluhuran orang Papua.
Orang Papua yang hidup saat ini mampu bertahan
dari kerasnya kehidupan, alam kemurahan sang khalik. Kehidupan mereka bisa
dibilang dekat dengan kematian. Suatu hari, seorang bercerita, saat ia dalam
perjalanan dengan perahu menuju kampung Injros, ia melihat sesuatu terapung.
Dikiranya, sebatang kayu. Ia terkejut sewaktu mendekati benda apung itu.
Ternyata, seorang anak, berusia tiga tahun. Anak itu diangkatnya ke perahu. Si
anak rupanya jatuh dari rumah dan hanyut. Beruntung ia tidak mati tenggelam.
Warga kampung sangat terkejut, terutama orang tua si anak. Kejadian seperti ini
sering terjadi di Papua. Entah di pantai, rawa, atau gunung.(Andi Tagihuma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....