Rabu, 18 Desember 2013

Mengenang Satu Tahun Kepergianmu, Ananias (I)

Ilustrasi Kecelakaan. Foto; Its
Tulisan ini saya buat untuk mengenang satu tahun kepergian kakak terkasih, Ananias Belau yang meninggal karena kecelakaan lalulintas pada tanggal 26 November 2012. 

Hari ini adalah hari selasa. Tanggal dua puluh enam. Bulang ke sebelas. Di tahun dua ribu dua belas. Kurang lebih dua puluh lima hari lagi kita akan menrayakan pesta natal. Pesta gembira bersama keluarga. Entah sendiri ataupun dengan semua anggota keluarga. Tentu moment natal adalah moment penting bagi semua umat kristen di seleuruh belahan planet ini. Tak luput saya pun menganggap memonet ini adalah moment paling penting dalam hidup saya.

Dalam hidup saya, saya bisa hitung berapa kali saya merayakan natal bersama keluarga tercinta. Juga saya bisa hitung berapa kali saya rayakan pesta penting pada moment natal itu sendirian.


Dan saya ingin tuliskan peristiwa memilukan yang menimpa saya dua puluh lima hari sebelum Natal. Dengan peristiwa itu membuat saya harus membiarkan diri saya terima satu kenyataan untuk menyaksikan air mata yang terus mengalir di pipi. Karena tidak tahu mau buat. Semua sudah telat. Peristiwa itu adalah kecelakaan lalu lintas yang membuat kau harus tidur panjang selama tiga jam di ruang jenazah Rumah Sakit Bhayangkara, pada waktu itu.

Dan ini cerita yang terjadi sepanjang satu hari, pada tanggal dua puluh enam bulan november tahun dua ribu dua belas itu.

Pintu Kamar saya Didobrak
Bukan pagi-pagi. Tetapi subuh. Sekitar pukul tiga lewat empat puluh menit. Atau dua puluh menit sebelum jam empat subuh. Masih gelap. Masih sunyi. Masih sepi. Penghuni jagat raya ini pun masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka.

Tok.. Tok.. Tok..         Pintu kamar saya di dobrak dengan keras. Saya masih terbaring. Saya dengar jelas. Ada orang memanggil nama saya di depan pintu kamar. Saya malas tidak ambil pusing. Diam saja. Karena pemalas bangun. Lantaran masih subuh.

Tok.. Tok.. Tok.. Untuk kedua kalinya pintu kamar saya di dobrak dengan tenaga penuh. Namun tak berhasil. Masih saja memanggila nama saya. Tetap tak ambil pusing.

Suara orang yang memanggil nama saya itu saya kenal dari suaranya. Ia adalah sepi japugau. Teman sekamar dengan ananias.

Terpkasa dengan malasa saya pun membuka pintu. Tanpa saya bertanya sepi bilang ke saya kalau ananias ada dapat pukul dari orang di jalan. "kaka ano, ini kaka ananias telpon baru bilang kalau dia ada dapat pukul dari orang. Dia bilang eh.... Nanogagiyaoo,....". Pertama saya hiraukan. Lalu saya bilang ke sepi," igi tadi munim minuman keras berapa botol? Lalu sepi bilang, kami minum tiga botol. Setelah itu dari pertengahan dia ambil kunci baru pergi beli nasi kuning di depan kampus umel mandiri. Habis dia bilang dia lapar". Terus dia pergi dengan siapa, sendiri ka atau dengan siapa? Tanya saya singkat. "ah tidak kaka. Dia pergi sendiri," jawab sepi.

Mendengar itu, hal pertama yang saya cari adalah hp. Karena hp saya tidak ada pulsa, saya telpon pake hp milik sepi. Saya telepon ke ananias untuk pastikan dia baik-baik saja. Saya telepon. Teloepon yang pertama dia angkat, lalu saya bilang ananias begini " jundo aga go dimana? Dan ananias jawab begini " ah saya baik-baik saja. Sa dengan sa punya bunda to...." habis itu putus.

Saya telepon yang kedua kali. Ananias masih angkat telepon. Saya tanya hal yang sama. "jundo ini dengan 
arnold. Hanegepitabo. Aga dimana? Aga dapat pukul dimana? Dan siapa yang pukul aga?

Jawabannya tetap sama. Tapi ada satu klimat yang dia marah ke saya. "saya tidak papa. Saya dengan bunda too. Yoo... Ko arnold ka hanegepitabo ka saya tara tau. Yang penting saya dengan bunda saya". Setelah itu ananias putuskan telepon lagi.

Batin sudah tidak tenang. Perasaan sudah mulai lain. Untuk ke tiga klainya saya telepon lagi dengan hp yang sama. Hp mito lipat, warna pink itu.

Tadinya saat telepon bunyi teet.. Teeett.... Teeett itu tidak terdenagr. Hanya terdengar "nomor yang adan tuju sedang tidak aktif atyau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi".

Dengan mendeangar itu hati tambah gelisah. Mau cari keberadaan dia jadi sudah. Karena dia tidak beritahun dia sedang dimana. Wah... Susah juga. Jadi jalan terakhir adalah jalan kaki menuju ke lingkaran sambil mencari dia. Dengan harpan bisa menemukan ananias.

Cari Ananis Ke Abe (Pertama)
Saya mulai jalan. Setelah keluar dari asrama sampai di putaran taksi pertigaan tetap di depan kantor askes, richard mayor teman wartawan saya dan kakak tingkat saya di kampus stikom berhenti di depan saya lalu dia tanya, "weh.... Ko kemana?" tanpa basa basi saya langsung bilang begini, " ah tidak sa pu kaka tadi mabuk baru keluiar dengan motor tapi tidak pulang-pulang jadi saya mau pergi cari dia di bagian abe dan waena. Pokoknya di tempat-tempat jual minuman keras,".

Lalu saya ikut richard ke linkaran. Di sepanjang jalan saya tidak temukan dia. Bahkan motor yang dia kendarai pun tidak ada.

Sampai di lingkaran saya turun di depan kantor polsekta abepura. Dan sudah pukul empat lewat dua puluan. Saya jalan ke arah kampkey sampai di jalan naik ke Rumah Sakit abe. Tidak ada. Saya kembali ke lingkaran lagi. Saya jalan lagi ke kodim perwakilan jayawijaya di abe. Juga tidak ada. Hanya ada beberapa pemuda yang duduk melingkar di depan emperan ruko. Mereka sedang minum minuman keras. Saya kembali ke depan kantor pos. Dan saya bingungh sendiri disitu. Mau kem dan bagaimana. Saya fikir panjang disitu. Segera setelah itu saya putuskan untuk pulang ke asrama.

Karena pekerja-pekerja yang selalu setia menyapu jalan sudah mulai bekerja. Juga terlihat satu atau dua orang sudah mulai jogging pagi. Juga terdengar adzan yang dikumandangkan di mesjid-mesjid yang ada di kotaraja, abe maupun kampkey dan youtefa.

Sudah begitu saya tidak temukan sedikitpun tanda-tand bahwa di ada. Saya putuskan untuk pulang. Sebelum pulang saya telepon pertama ke nolianus kobogau yang tinggal di abe. Juga saya telepon robby migau di perumnas iii waena. Tetapi mereka bilang tidak ada. "kapa miwi taunggao," jawab noli, panggilan akrab untuk nolianus kobogau. Dan "tidak ada, dia belum kesini. Coba tanya ke anak-anak di gubuk," jawab Robby.

Tidak ada tanda-tanda untuk saya bisa ketemu ananias jadi saya putuskan untuk pulang ke rumah hingga fajar tiba.

Cari Ananias Ke Asrma-Asrama (Ke Dua)
Saya tiba di rumah jam lama pagi. Saya masuk kembali ke kamar untuk tidur sejenak tenangkan hari yang berantakan. Tetapi tidak bisa tidur. Jadi saya mandi. Lalu saya siap-siap. Target saya adalah datangi semua asrama yang ada di expo, dan waena. Begitu fajar tiba saya ke jalan besar dari asrama dengan tujuan untuk menunggu angkot entrop - padang bulan.

Saya naik angkot warna putih itu ke padang bulan. Dari pdang bulan saya ganti angkot dengan tujuan expo, waena.

Karena jalan masih sepi jadi tiba cepat di expo. Saya jalan kaki ke asrama buper. Dimana disitu banyak mahasiswa dan pelajar intan jaya tinggal. Tidak sempat saya masuk ke asrama. Apalagi ketemu penghuni asrama. Saya hany lihat motor yang tadi ananias pake baru keluar. Motor vixion warna hitam yang saya beli dua pada bulan september 2012 itu.

Karena tidak ada motor di halaman asrama maka saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke asrama yang ada di perumnas iii waena. Kini sudah pagi. Matahari sudah mulai memacarkan sinarnya dari arah timur tepatnya diatas lautan samudera pasifik yang indah menawan itu.

Saya kembali ke expo. Naik angkot lagi dan menuju ke perumnas iii. Sasarans aya adalah asrama uncen unit 4. Kemudian gubuk di sebelah kali kampwolker. Gubuk yang saat ini ditempati oleh keluarga sebedius selegani. Saudara saya.

Juga sampai dengan cepat  di gubuk. Nampaknya orang-orang masih tidur. Ada beberapa sendal jepit dan du sepatu ada di depan pintu. Saya tidak masuk.

Dada sudah sesak. Sudah kehilangan akal. Dan bingung mau cari kemana. Harapan saya adalah gubuk ini. Toh disini pun tidak ada. Saya pun duduk dengan kesal di para-para dibawa pohon ketapang yang ada di rumah halaman rumah itu. Kalau siang pohon ketapang ini memberikan kesejukan yang alami bagi setiap orang yang berteduh dibawanya.

Meskipun tak akan dapat jawaban yang pasti saya telepon lagi ke nomornya ananias. Eh... Ternyata masuk. Ada signal bahwa saya bisa bicara dengan ananias. Hati jadi sedikit legah hanya dengar nomor teleponnya aktif saat saya telepon.

Telepon diangkat.... Saya sapa dengan kata hallo. Selamat pagi. Saya membuka pembicaraan. Suaranya bukan suara kakak saya, ananias yang saya kenal. Tetapi suara orang lain.

Suara orang yang tidak saya kenal itu bilang begini, " ade ko apanya orang yang punya hp ini. Lalu sa bilang. Sa adik kandung dari orang yang punya hp itu. Trus dia jawab lagi begini, "kalo ko adiknya orang yang punya hp ini, sekarang ini juga ko datang ke Rumah Sakit Bhayangkara. Dia lagi kritis di ruang gawat darurat. Untuk memastikan bahwa ananias tidak apa-apa saya tanya, kaka baru motor yang dia pake tadi malam itu masih trapapa ka? Dan dia jawab begini, iya. Tidak papa. Jadi sekarang ini ade datang ke sini. Karena ko punya kaka lagi kritis.

Tanpa pikir panjang saya pun bergegas ke Rumah Sakit Bhayangkara.

Saya naik angkot ke lingkaran. Lalu saya naik angkot lagi ke asrama. Disini saya tidak langsung ke Bhayangkara seperti yang dipesan oleh orang tak dikenal lewat telepon tadi.

Sesampainya saya di asrama. Saya minta kepada ormis, sepi dan anton yang minum minuman keras sama-sama dengan ananias untuk pergi lihat ananias di rumh sakit Bhayangkara. "kam ke Rumah Sakit Bhayangkara. Dia tadi malam dapat tabrak baru ada kritis di Rumah Sakit Bhayangkara jadi kam pigi lihat dia sana" pinta saya. Ini saya tidak marah. Tetapi dengan ikhlas saya minta untuk ketiga teman minumnya pergi lihat di Rumah Sakit Bhayangkara.

Ya,... Saya suruh mereka. Tetapi hati ini tidak tenang. Jantung berdebar keras. Gelisa tiba-tiba. Wah tidak tenang saya. Jadi saya yang pergi sendiri ke Rumah Sakit Bhayangkara.

Di Rumah Sakit Bhayangkara
Saya naik ojek ke Rumah Sakit Bhayangkara yang letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal. Jaraknya sekitar 1500 meter.    

Saya turun agak jauh dari pintu gerbang masuk Rumah Sakit Bhayangkara kira-kira 12 meter. Maksudnya supaya sambil jalan masuk ke Rumah Sakit saya ingin lihat dulu motor yang ananias pake tadi malam. Perlahan-lahan saya cek di setiap sudut Rumah Sakit. Tidak ada. Saya coba mendekati tempat parkiran motor lalu cek satu persatu dari puluhan motor yang ada di parkiran itu.

Saya sangat bingung. Bahkan tidak ada fikiran sama skali untuk berbuat apa-apa.

Ditengah kebingunangan itu satu orang polisi yang duduk di penjagaan pintu masuk panggil saya. “ade ko sini dulu”. Saya pergi dengan ke polisi yang panggil saya itu. “Ko cari apa, tanya polisi itu. “Sa cari sa pu kaka yang tadi malam keluar dalam keadaan miras pake motor. Tadi sa telp dia punya nomor. Lalu saya diminta untuk datang kesini. Katanya dia ada kritis disini,” jawab saya. “O iya, kalo begitu sekarang ko ikut saya. Kaka anatr ade ke ko punya kaka,” ajak polisi yang saya tidak tahu namanya itu.

Saya hanya berfikir bahwa ananias ada di ruang UGD. Jadi nanti polisi ini dia akan antar saya ke UGD.
Tapi tidak. Dia mala atar saya lewat samping kiri. Jadi dalam perjanan itu hati batin sudah merontak. Rasanya ingin menangis. Tapi saya tetap berusaha semampu saya untuk tenang dan tahan rasa itu. Dalam keadaan seperti itu saya tanya lagi ke polisi itu lagi. “kaka sa pu kaka tidak papa ka? Mendengar pertanyaan itu dia tidak berkata apa-apa untuk menjawab pertanyaan saya. Dia hanya pegang pundak saya dan merangkul saya dalam pelukannya tanpa satu kata pun.

Saya sudah rasa bahwa ananias sudah meninggal. Karena motor tidak ada. Terus dia sedang kritis tetapi tidak di ruang UGD.

Di belakang UGD polisi ini tidak antar ke rungan dimana ditempati oleh pasien-pasien lain. Tetapi mala belok lagi ke arah kanan pas lurus pintu belakang UGD Rumah Sakit Bhayangkara.

Saya masih dalam rangkulannya. Dan saya diarahkan ke satu ruangan yang kotor. Disitu terdapat bahan-bahan bangnungan seperti kawat, pipa, selang dan seng. Disitu ia membuka pintu.

Saya dan Ananias di Ruang Mayat (Akhirnya Ketemu Ananias )
Saya sama sekali tidak baca tulisan diatas pintu itu. Pada hal ada tulisan “Kamar Mayat” yang ditulis pada sebuah papa lalu dipaku diatas pintu. Tulisan pada papa kecil itu ditulis dengan cat warna hijau. Warna kesukaan saya.

Kemudian di dalam ia buka lagi pintu yang satu. Disana tidak ada apa-apa. Hanya ada satu tempat tidur yang terbuat dari besi. Kemudian diatas tempat duduk itu satu orang tertidur. Ia dibungkus dengan kain warna putih dan dilaoisi dengan plastik bening.

“Ade ko lihat dia pu muka, itu ko punya kaka atau bukan,” tanya polisi yang antar saya sampai di ruang mayat. “Baik kaka,” jawab saya.

Jam delapan pagi saya masuk diruangan itu sendiri. Perlahan saya buka kain yang membungkus ananias di kepala. Saya lihat wajahnya. Dan benar itu adalah kakak saya Ananias.

Hanya napas panjang yang saya hembuskan dari mulut. Ia sudah terlelap dalam tidur. Ia sendirian sejak tadi pagi. Tanpa suara apapun dalam kesepian itu ia terbaring. Ia dingin. Juga myungkin ia lapar. Selama Ditemani debu yang menghiasi lantai di kamar itu.

Saya diam disamping tubuh ananias yang kaku dalam mimpi panjangnya. Tidak ada air mata satu pun yang mengalir keluar dari mata saya. Hanya diam menatap wajah ananias yang tertidur kaku di tempat tidur.
Tidak tahu mau buat apa.          
    
20 puluh menit lebih saya duduk memeluk tubuh yang dingin. Dalam ruangan itu kami berdua sendirian. Tak ada ide. Tak ada pikiran untuk membuat sesuatu. Hanya terkejut melihat laki-laki jantung hati yang sudah kram dan kaku diatas tempat tidur yang kotor itu.

Tadinya saya kuat. Semangat. Tetapi semua itu lenyap seketika bersama napas panjang yang keluar dari mulut saat saya melihat dan pandang wajah dan tubuh ananias.

Hubungi Teman-Teman Migani di Kota Jayapura
Sekitar jam delapan lebih empat puluh menit polisi tadi datang. Ia bangunkan saya dari lamunan panjang yang penuh bimbang. Saya sangat tidak percaya. Ia meminta saya untuk hubungi keluarga yang ada disini, di Jayapura.

Saya tutup kembali kain yang tadi saya buka untuk lihat dan pastikan bahwa itu ananias. Kemudian saya keluar dari ruangan itu. Lalu orang pertama yang saya kontak adalah Ormis. Sahabat saya yang tadi malam mereka minum minuma keras bersama ananias. Saya pesan begini “alegame, Ananias sudah meninggal. Dan saya sedang di rumah sakit bhayangkara. Saya minta kalian yang tadi malam minum sama-sama dengan ananias dia tidak usa panik. Juga tidak usa takut. Tenang saja. Dan tinggal saja di asrama,” itu pesan saya untuk ormis waktu itu. Di ujung telepon ia hanya bila “ia sobat”. Lalu saya putuskan komunikasi dengan dia dari HP.

Orang kedua yang saya telepon adalan, Mugunemala (Wens Japugau). Yang waktu itu masih di asrama tempat kami tinggal. Untung ia belum ke kampus. Saya telepon Wens dan meminta dia untuk datang segera ke rumah sakit bhayangkara. “Zundo, aga ndola nuaoo hindaka kaipa puwi kiduama amba rumah sakit bhayangkara mee,” saya beling Wens begitu baru saya matikan.

Orang ketiga yang saya telepon adalah Jebe dan Karel. Saya telepon lalu saya minta mereka dua untuk segera ke rumah sakit karena ananias lagi dalam keadaan kritis. “Mepao ini ananias lagi dalam kritis di rumah sakit bhayangkara. Tadi malam dong minum baru keluar pake motor laldapat tabrak di jalan. Jadi sekrang ini juga tidak usa kemana-mana tetapi sekrang ini langsung kamu dua Karel datang ke rumah sakit Bhayangkara,”. Itu sa bilang ke Karel Kobogau om saya. Dan Jebe kakak saya.

Setelah itu saya kembali lagi ke ruang mayat. Dan temani jenazah anaias yang terus tidur sejak pukul lima subuh tadi itu.


Bersambung….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kawan, Tinggalkan ko pu Komentar Disini.....