|
Andy Tagihuma, Foto : Ist |
Sore itu Neli Nawipa mengisahkan pengalamannya sebagai guru di daerah
terpencil, di Kabupaten Jayawijaya. Saya sangat termotivasi dengan suasana ini,
karena dengan demikian, setiap pelajaran yang saya berikan, selalu diikuti
denagn riang gembira. Ketika melihat anak-anak mulai jenuh di dalam kelas, saya
ajak mereka keluar ruangan dan menggelar proses belajar-mengajar di halaman,
diselingi permainan yang menyenangkan. Saya memanfaatkan apa saja yang ada di
pekarangan sekolah untuk bahan simulasi. Neli mengawali ceritanya sambil
membayangkan situasi di tempatnya bertugas.
Sebagai seorang guru, saya sudah lama mendambahkan penyegaran, terutama
berkaitan dengan materi-materi pembelajaran dan metodologinya. Penyegaran ini
saya butuhkan karena saya bertugas di sebuah wilayah yang sangat jauh dari
pusat informasi. Terpencil.
Ternyata, mengusai metode pembelajaran yang baik itu sangat menyenangkan,
bahkan suasana bisa menjadi sangat komunikatif antara saya sebagai guru dengan
anak-anak. Bahkan, anak-anak sangat rindu akan kehadiran saya, sehingga ketika
saya tidak hadir ke kelas untuk mengajar mereka. Pada keesokan harinya, mereka
selalu bertanya, “Ibu, kenapa ibu guru tra masuk sekolah kemarin?”
Wamena, Kabupaten Jayawijaya, itulah tempat aku mengabdi, tepatnya di SD
Negeri Wamena. Sebelum mengabdi di situ, saya ditempatkan di SD Inpres
Yanengga. Kini 20 tahun sudah saya meniti karier sebagai guru.
Saya terpanggil menjadi guru karena terinspirasi oleh ayah saya yang juga
seorang guru di Wamena. Ayah bagi saya adalah sang guru yang berwibabwa. Apa
yang diajarkan, selalu didengar oleh anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil,
saya terinspirasi dengan ayah dan bercita-cita menjadi guru. Saya ingin
mendidik anak-anak Papua nun jauh di pegunungan, membimbing dan membentuk
mereka menjadi pribadi-pribadi yang siap di kemudian hari untuk menghadapi masa
depan penuh tantangan.
Jayawijaya adalah sebuah kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sangat
terisolir secara geografis. Untuk menjangkau kabupaten tersebut, saya harus
menumpang pesawat dari Jayapura. Namun saya tidak gentar karena saya juga
berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya Paniai. Karena itu,
dengan senang hati saya menerima tugas sebagai guru di Jayawijaya.
Seperti kebanyakan guru di pedalaman, tantangan memang luar biasa berat.
Tidak hanya soal jarak, tetapi juga mentalitas masyarakat untuk menyekolahkan
anak. Gedung sekolah, ruang kelas, dan buku-buku pelajaran masih sangat
terbatas.
Setiap hari, selama dua jam saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan
kendaraan roda empat dari rumah menuju tempat tugas saya di SD INPRES Yanengga,
Disktrik Bolakme. Bila terlampau sore, tidak ada kendaraan yang menuju
Yanengga, semuanya parkir menunggu penumpang di Wosi, saya harus berjalan kaki
10 kilometer menuju Wosi untuk pulang ke Wamena.
Dari begitu banyak persoalan yang dihadapi, saya terus berusaha mencari
metode paling ampuh untuk membuat murid-murid betah bersekolah. Saya juga terus
menyadarkan para orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anak mereka, terutama
anak perempuan. Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut
dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih
remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.
Ada penggalan kisah yang jika saya ingat, selalu membuatku terharu dan
meneteskan air mata. Kisah tentang seorang anak perempuan bernama Marina
Wandikbo, murid saya yang cacat pada salah satu kakinya. Namun, saat baru naik
kelas V21SD, orangtuanya menikahkan anak itu. Kegetiran hidup pun mulai
menghampiri gadis putus sekolah itu, ketika sang suami meninggalkannya.
Penderitaan Marina kian memuncak. Sudah cacat fisik, menanggung status janda
pula. Saat mendengar ada guru perempuan yang baru datang dari kota untuk
mengajar di kampungnya, ia dengan bersusah payah berenang menyeberangi Sungai
Baliem untuk bertemu saya. “Ibu saya senang ada guru perempuan, di sini semua
guru laki-laki, saya mau sekolah,” begitu pinta Marina pada saya.
“Kenapa kau berhenti sekolah?”
“Orang tua kasih kawin saya, tapi sa punya suami kasih tinggal saya”
Saya katakan padanya, “Perempuan normal saja ditinggalkan para suami,
apalagi kamu perempuan cacat. Kau masuk kembali ke sekolah. Kau pasti bisa dan
akan menjadi orang yang berhasil!” Perempuan itu pun kembali ke bangku
pendidikan SD sampai tamat.
Belakangan ini, hati saya berbunga-bunga, karena pada musim testing masuk
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini di lingkup Kabupaten Jayawijaya ,
Marina lulus sebagai guru Bahasa Indonesia. Ketika ia datang menyampaikan warta
kelulusannya, ia mengatakan dengan jujur tentang kekurangannya.
“Ibu dengan kondisi kaki saya yang cacat ini, saya tidak kuat berdiri di
depan kelas.” Saya terharu. Saya langsung bergegas ke Kepala Dinas Pendidikan
Jayawijaya, memohon agar Marina tidak ditugaskan sebagai guru, karena kondisi
fisiknya. Kepala dinas memahami dan memperbolehkan Marina bekerja di Dinas
Pendidikan.
Kini Marina bangga menjadi CPNS. Sebuah perjuangan sukses telah ia raih
setelah bangkit dari kejatuhannya.
Apa yang saya lakukan mungkin dilihat sebagai tindakan sepele, tetapi
dampaknya akan jauh ke depan. Perempuan itu akan bercerita bahwa ia pernah
jatuh terjerembab dalam kungkungan adat istiadat, namun berhasil bangkit untuk
meniti masa depannya sebagai perempuan karier. Apalagi ia perempuan cacat.
Saya merasa, Marina hanyalah satu dari begitu banyak gadis-gadis di seluruh
Tanah Papua yang bernasib sama. Ada yang mirip sama sekali tapi dalam bentuk
dan jubah yang berbeda. Namun, yang penting, harus ada keberanian untuk
mendobrak kemapanan budaya, salah pandang dalam masyarakat dan kebijakan yang
kurang memihak perempuan dan anak-anak, agar lebih banyak lagi “Marina-Marina”
lain yang terselamatkan dari tindakan mengawinkan mereka saat masih gadis
remaja, memperkerjakan mereka di ladang atau bentuk eksploitasi lain, tanpa
memperhatikan pendidikan sebagai bekal hidup di kemudian hari.
Ketika mengingat, saya terus meneteskan air mata, mengenang perjuangan
Marina dan keberanian saya mendobrak tradisi. Semoga hikmah dari cerita
mengenai Marina ini bisa memotivasi perempuan-perempuan Papua lainnya untuk
sekolah, maju dan berkembang seperti laki-laki.
Kedekatan saya dengan Marina, setipis kulit bawang, sampai-sampai dia
memperlakukan saya tidak hanya sebagai guru, tetapi juga kawan sejati, teman
curhat, sekaligus orangtua. “Saya yakin, jika dengan metode pembelajaran yang
baik, akan lebih banyak perempuan Papua yang betah di sekolah. Dan dengan bekal
ilmu dan pengetahuan, mereka bisa merajut hari esok dengan pasti.” Neli
mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
(Andy Tagihuma)